Masyarakat perlu terus mendapatkan edukasi terkait tuntutan bahwa harga Bahan Bakar Minyak Dunia (BBM) semestinya turun, karena sempat melihat pemberitaan harga minyak dunia jatuh.
Padahal, Pertamina menilai penurunan harga BBM di dalam negeri tidak berdampak besar karena konsumsinya saat ini sudah sangat rendah imbas berbagai kebijakan pembatasan corona.
Apalagi kalau alasannya karena harga minyak dunia sedang turun. Faktanya, harga minyak dunia saat ini masih berfluktuasi, sementara Pertamina harus terus menjaga stabilitas harga BBM penugasan maupun non-penugasan.
Harga minyak mentah dunia sempat turun tajam pada periode Maret hingga April 2020, namun per Mei 2020, harga minyak telah menunjukkan tren peningkatan.
"Saat ini harga minyak mentah terus menguat di kisaran US$ 34 per barel. Meskipun pada Maret-April 2020, minyak dunia sempat turun drastis, rata-rata ICP selama Januari hingga April sebesar US$ 44,22 per barel," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman.
Fajriyah menekankan, Pertamina juga menjalankan fungsi untuk menjamin ketersediaan energi dan menyalurkan BBM serta LPG ke seluruh Indonesia. Untuk itu, pihaknya tetap harus menjalankan seluruh kegiatan operasional dari hulu, pengolahan sampai hilir.
Khusus untuk sektor hulu, dari total minyak mentah yang diolah Pertamina, sekitar 70 persen merupakan serapan dari minyak mentah domestik yang biaya produksi serta harganya juga bervariasi. Sisanya dari impor yang proses pembeliannya sudah dilakukan sejak dua hingga tiga bulan sebelumnya.
Demi mencegah PHK para pekerja kilang dan menjaga perputaran roda perekonomian nasional, Pertamina akan tetap memprioritaskan kegiatan hulu migas dalam negeri dibandingkan impor minyak mentah.
Jika kebijakan impor yang dilakukan, diiringi menyetop penyerapan minyak mentah domestik dan operasional kilang, hal tersebut justru akan menelan biaya yang lebih mahal.
"Ke depan dampaknya dapat berakibat pada penurunan penyerapan di industri migas yang tentunya akan sangat merugikan perkonomian makro di Indonesia," jelasnya.
Satu hal lagi yang publik perlu ketahui di masa pandemi ini, dengan rendahnya permintaan BBM yang turun hingga 30 persen -karena kurangnya frekuensi masyarakat bepergian dengan kendaraan bermotor, bahkan hingga 50-60% di kota besar yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), maka terjadi kelebihan stok.
Akibatnya, biaya penyimpanan pun membengkak.
"Maka, BBM yang seharusnya sudah habis dikonsumsi sejak beberapa bulan lalu, masih tersedia. Padahal, harga produksinya masih menggunakan harga yang lama sebelum turunnya harga minyak dunia," urai Fajriyah.
Logika ekonomi yang disampaikan pemerintah, penurunan harga BBM saat ini tidak akan berdampak besar dan memicu penurunan harga barang lainnya. Ini karena konsumsi BBM sudah berada pada titik rendah.
Justru jika harga BBM diturunkan dan kembali dinaikkan di saat harga minyak dunia rebound atau berbalik naik, maka akan memicu inflasi. Sehingga, Pertamina pun lebih memilih menjaga stabilitas ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H