Lampu Kuning Demokrasi Indonesia
Oleh : Cecep Handoko
Sitem Demokrasi yang ditandai adanya pembagian kekuasaan dalam sebuah negara melaui proses politik merupakan sebuah konsekwensi logis yang diterapkan di Indonesia karena pilhan untutk berdemokrasi merupakan konsesus legal yang disetujui oleh segenap tumpah darah Indonesia semenjak negara ini diploklamirkan. Hal ini dikuatkan dengan diadopsinya kerangka bernagara yakni Undang-undang Dasar 1945 dan amandementnya serta aturan perundang-undangan lain sebagai intrumens legal bangsa Indonesia untuk berdemokrasi.
Jika merunut sejarahnya tentunya demokrasi yang menjadi pilihan bangsa indonesia ini dibangun dengan tidak sedikit pengorbanan, baik itu berupa pengorbanan moril ataupun materil. Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang demi berdirinya sebuah bangsa merdeka yang diberi nama Indonesia. Namun proses dalam sejarah tersebut tidak serta merta menjadikan prilaku para elite politik untuk menghargai demokrasi baik secara formal maupun subtansi.
Sitem demokrasi Indonesia yang dijalankan melalui proses pemilihan umum (pemilu) dipandang sebagaian masyarakat sebagai konspirasi busuk yang dilakukan oleh elite-elite politik yang haus kekuasaan, hal ini tercermin dari maraknya prilaku menyimpang yang dilakukan oleh para aktor dan aktris politik dewasa ini. Bahkan sistem demokrasi ini menjadi kuda troya bagi segelintir elite politik yang haus kekuasaan.
Dinasti Ratu Atut Khosiah contohnya, bagaimana dengan entengnya para pembela dinasti ini mengatakan bahwa secara legal, politik dinasti dibanten ini halal. Para pembela dinasti ini tidak berfikir bahwa sebuah sistem demokrasi itu dibangun bukan hanya sebagai sitem formalistik tapi lebih pada subtansi demokrasi yang memberikan ruang terhadap segenap tumbah darah Indonesia untuk ikut serta dalam proses “membangun bangsa” bukan membangun kekuatan keluarga atau kroni, seperti yang dilakukan dinasti Atut yang terbukti korup ini.
Selain maraknya prilaku korupsi yang dilakukan oleh para elite politik ini juga ada faktor lain yang ikut menjadi suksesor penghancuran demokrasi. Kita lihat betapa bobroknya mental para elite politik, ambil contoh kasus beberapa anggota dewan yang merekam adegan mesumnya serta contoh arogansi oknum anggota dewan, sebut saja salahsatunya si Ruhut “Poltak” Sitompul yang gemar membuat pernyataan dimedia tanpa mempertimbangkan perasaan masyarakat.
Prilaku bejat para pelaku politik ini menadi preseden buruk bagi proses demokratisasi Indonesia yang dilakukan melalui mekanisme pemilu. Bahakan menurut hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) angka keikut sertaan masyarakat pada pemilu mengalami penurunan. Contohnya pada pemilu tahun 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%, dan Pemilu 2014, diprediksi tingkat keikutsertaan pemilih hanya tinggal 54% (sumber : http://indonesia-web.blogspot.com/2013/08/rakyat-tak-percaya-elite-politik-2014.html).
Angka ini harusnya menjadi keprihatinan segenap masyarakat Indonesia terutama para aktor dan aktris politik yang menjadi biang keladi dari menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses pemilu. Kalo para pelaku politik tidak segera merubah prilakunya maka tidak berlebihan jika demokrasi diIndonesia sudah mencapai zona merah alias kehancuran. Ini menjadi lampu kuningg bagi kita semua yang merupakan para pemegangg tongkat estafet bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H