---
Satu hal yang kusyukuri dari diriku sendiri, aku tidak pernah menganggap kesedihan dan tangisan sebagai kelemahan. Justru itu seperti metode mengeluarkan racun dari tubuh, dan jantung, dari otak. Ya, aku tidak bicara tentang sains, pure sharing perspektif saja.Â
---
Jujur, aku kadang merasa ditolak saat mengetahui orang terdekatku melarang untuk menangis, karena menurutnya itu tanda kelemahan. It's okay. Mereka juga berhak untuk mengekspresikan perspektifnya.Â
Ada juga yang menerima ekspresi sedihku dengan mendiamkanku dalam pengetahuannya tentang masalah yang kuhadapi. Ada juga yang berusaha beri dukungan moril bahwa "ya, kamu boleh menangis."Â
Di menjelang usia dua puluh tujuh tahun, aku semakin menyadari, bahwa orang dewasa juga memiliki kesedihan yang mungkin ga mereka sadari, "aku harus kuat, apapun yang terjadi." Itu sulit, tapi harus dilakukan. Dan apakah aku bisa melakukannya juga tanpa terluka?
Mulai dari sana, aku jadi bertanya kembali, "apakah aku jadi semakin takut untuk menikah? Apakah nantinya aku bisa kuat saat menjadi orang tua? Apakah nantinya aku bisa mengasuh anakku dengan baik? Apakah rasa tanggung jawabku sudah cukup untuk mengambil peran yang lebih tinggi? Sampai sini aku berkesimpulan, bagian paling menakutkan menjadi dewasa adalah soal "mampu bertanggung jawab," dalam hal apapun. Pertanyaanku pribadi, tapi menusuk tajam ke hatiku sendiri.
---
Di menjelang dua puluh tujuh tahun, aku mencoba memahami, "akan ada banyak sekali hal baru di hadapanku nanti." Jika aku diberi umur panjang, tidak ada kesimpulan final, melainkan hipotesa dan pembuktian yang bersiklus. Pastikan setiap siklusnya ada pembelajaran, makna, dan evaluasi yang dilandasi dengan keberanian untuk jujur.
---
Sumber gambar : https://unsplash.com/photos/HKZPcz4Jpm8?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink