Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Aku Selalu Tersenyum?

4 Februari 2020   10:23 Diperbarui: 6 Februari 2020   16:49 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Halo! Semoga tulisan kali ini tergolong ringan ya? Dan masih berbau curhat, curhat tentang dialog dengan hati baru saja. Hari ini, hari Selasa, 4 Februari 2020. Setelah kita melewati tanggal yang katanya cantik (2022020), rasanya .. hampir semua hal bisa terasa istimewa, tergantung situasinya. 

Tanggal cantik yang benar-benar cantik atau sengaja dibuat cantik? 

Kebaikan seorang lawan jenis yang membuat kita berbunga-bunga, apakah ia benar-benar melakukan kebaikan yang berdampak baik dalam arti sesungguhnya? Atau hanya setelah teraktivasi oleh sistem tubuh dan psikologis sehingga kebaikan sepersekian detik bisa membuat kita tak bisa tidur 3 hari 3 malam? Kebaikan yang membuat kita merasa spesial. 

Tentang senyuman, seringkali kita melihat orang lain tersenyum, terlebih, di negara Indonesia, budaya senyum ini sudah termasuk keramahan yang disenangi berbagai jenis manusia. Apakah karena senyuman itu membuat orang lain senang, haruskah aku pun ikut tersenyum demi orang lain?

Ngomong-ngomong tentang senyuman, tahu ga, ternyata senyuman itu punya banyak gaya! Ya, bukan kayak gaya=fashion. Tapi, senyuman menyimpan arti tersembunyi. 

Yah, mirip lah ya dengan fashion, karena fashion pun tercipta salah satu tujuannya untuk mengkompensasi kelemahan atau meningkatkan kepercayaan diri kita. Dalam hal ini, senyuman punya analogi yang serupa, yaitu menutupi maksud dari perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan. 

Begini. 

Orang yang sedang sedih, bisa tersenyum untuk menutupi kesedihannya. Ia tau, emosi itu menular. Dan orang yang kurang sensitif, biasanya secara tak sadar akan terlindungi dari tularan emosi sedih itu, dengan catatan, orang tersebut benar-benar tidak tau bahwa kawannya ini sedang benar-benar sedih. 

Pernah dengan tentang fake smile atau senyuman palsu? Senyuman untuk menutupi kesedihan ini bisa termasuk ke dalam fake smile. 

Apakah kepalsuan senyuman ini berdampak buruk pada diri kita dan orang lain?

Semoga, lain kesempatan aku bisa menjelaskan lebih rinci tentang senyuman-senyuman, termasuk fake smile ini. Sampai jumpa! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun