Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sebenarnya, Makna Ekspresi Diri Itu Seperti Apa?

31 Januari 2020   01:42 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:28 10789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Photo by Viktor Paris on Unsplash

Yah, ga seperti tulisan-tulisan sebelumnya, gaya tulisan kali ini bermuatan curhatan pribadi. Dan tulisan kali ini kuanggap sebagai ekspresi diri. Kalau kamu masih tertarik untuk kuajak ngobrol, mari, sekarang kita ke pendahuluannya dulu sebelum masuk to the point of topic, about self-expression.
***
Hidup itu kompleks. Kompleksitasnya makin menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu, perputaran nasib seakan-akan berputar bagaikan roda antar manusianya, kalau kita tak pernah berusaha, berjuang untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai kehidupan kita sendiri, maka otomatis kita tersisihkan dari perputaran hidup yang kita harapkan.

Pernah dengar istilah seleksi alam? Seleksi alam ini biasanya untuk hewan dan tumbuhan, tapi kita bisa coba pelajari analoginya untuk kehidupan kita sebagai manusia. 

Konsepnya mirip. Bedanya, konteksnya lebih kepada adaptasi diri sendiri, sebagai organisme dengan dinamika psikologi internalnya terhadap dinamika psikologis eksternal yang jumlahnya miliaran manusia, mungkin. 

Baca juga : Di Era Milenial Musik Tak Sekadar Ekspresi Diri, Namun Juga Profesi

Siapa yang bisa tenang, tidak tenggelam dalam distres yang mendalam, ia yang akan selamat, ia akan bertahan, bertumbuh, dan berkembang.
***
Rasanya cukup menjenuhkan, ya? Hingga tersadar, kejenuhan itu bermula dari buntunya jalan pikiran kita, atau jangan-jangan, memang perasaan kita yang menyempit dan membuat kita seakan "buntu".

Orang awam mungkin langsung menaruh sangka bahwa kita sedang mengaplikasikan "sugesti negatif" ke diri sendiri, dan itu dianggap sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri, serendah itu kita dipandang dari satu sisi saja dan mereka seakan tau segalanya. 

Rasanya, semua pikiran dan perasaan membludak. Seakan, aku adalah bom waktu yang berjalan sangat lambat, terlepas dari benar atau salahnya tulisan ini.
***
Mulanya, aku mencari teman yang benar-benar bisa membuatku merasa "ada," atau eksistensi diri yang disadari keberadaannya. Sampai lah di titik aku membutuhkan dan mendapatkan teman-teman yang tulus, mau berteman dan menerimaku dengan konsisten, tanpa pemalsuan ekspresi, maupun tanpa inkonsistensi antara bibir, mata, dan intonasi bicara. They built secure environment for me to stay alive.
***
Mungkin kamu tak asing dengan ungkapan, bahwa orang tipe pendengar seakan-akan menjadi sosok yang bersedia jadi "tempat sampah" untuk orang lain. Aku sendiri, percaya bahwa masih ada ungkapan kata yang lebih baik dari pada "tempat sampah." 

Baca juga : Narablog di Era Digital Jadi Sarana Ekspresi Diri

Ilustrasi Photo by Viktor Paris on Unsplash
Ilustrasi Photo by Viktor Paris on Unsplash

Pendengar adalah manusia yang langka, meski jumlahnya banyak. 

Begini, kamu tak akan mudah mendapatkan pendengar yang cocok, karena personalitas kamu tak selalu cocok terhadap setiap orang. Bisa disimpulkan sementara, bahwa kita adalah pendengar yang langka, dan kita membutuhkan pendengar yang nyatanya "langka" juga. Sebegitu berharganya dan sama sekali tak patut disebut sebagai "tempat sampah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun