Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masalah Cinta, Masalah Remeh? Ada Luka Batin yang Kerap Dianggap Sepele

24 November 2019   18:41 Diperbarui: 26 November 2019   11:34 3164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash 

"Uta! Kayaknya kamu suka sama aku ya?" 
"Iya, Gas! Memang aku suka sama kamu!" 
"Tapi aku ga suka kamu, Ta" 
"OK. Ga apa! Ntar aku cari yang lain!" 
"Sip!" ---Cuplikan dialog ini adalah kisah nyata.  

Seorang laki-laki bernama Bagas menyadari perasaan seorang teman perempuan yang bernama Uta (nama samaran). Ketika aku dengar cerita ini, reaksiku cukup ga menyangka, kenapa si Bagas bisa sefrontal itu?

Bagi sebagian kita, pertanyaan Bagas terlalu Pe-De alias percaya diri. Dan juga, segitu entengnya ya ditolak bagi si Uta ini? Haha. 

Ada yang berpikir aku akan menulis curhatan atau kisah romance? O, kurang pas, Bro dan Sista. Aku melihat intisari yang cukup bagus dari cuplikan dialog itu.

Sebelumnya, aku berterima kasih dengan mereka-mereka yang telah berani mendobrak ketidaklaziman demi menciptakan kedamaian batin meski harus diawali dengan PENOLAKAN, hati yang terluka, dan mungkin sampai air mata. 

***

Beberapa waktu terakhir aku memang sedang mencari tau tentang luka batin dan bagaimana caranya menerima penolakan. Sedang mencari, dan sekarang pun masih dalam proses mencari. Kenapa begitu?

Sebenarnya, banyak sekali dinamika psikologis yang ga disadari oleh kita, termasuk aku. Ternyata, untuk menyadari bahwa ada pola-pola penyakit batin beserta akar-akar masalahnya tidak mudah. 

Kita butuh memprioritaskan diri dan waktu untuk fokus pada tema ini secara khusus agar benar-benar memahami, apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita. 

Dan hal lain yang tak kalah penting, penyakit batin ini juga bisa berimbas pada orang lain, mulai dari yang terdekat sampai dengan orang asing yang tak sengaja menyenggol lengan kita di tengah keramaian. Mereka bisa jadi kena dampak batin kita yang sebenarnya sedang terluka.

Jadi, tema psikologis tentang luka sebenarnya sangat penting kita perhatikan. Analoginya, luka fisik seperti luka terbuka, kalau tidak tertangani dengan cepat dan tepat, kemungkinannya akan terjadi infeksi dan bisa fatal, seperti kematian. 

Luka yang ada di batin pun sama. Terlambat penanganan saja, ada dua kemungkinannya, sembuh lebih lama atau luka semakin "berdarah" dan membuat seseorang memilih jalan pintas untuk mengakhiri luka itu.

Hmm, kenapa pembahasannya semakin ke sini agak ngeri ya? 

Lalu, ada satu pertanyaan seorang teman padaku, "Bisa ga? Kita menumpuk masalah remeh itu dengan masalah yang lain? Biar masalah itu bisa ilang?" Pertanyaan yang sangat menarik. Dan aku akan membahas jawabannya sekilas di sini. 

***

Kita akan sedikit membawa aspek budaya di sini. Dari kata "budaya." Ada uraian kata "budi" dan "daya", yang artinya akal dan kemampuan, energi. Yang dari situ kita bisa ambil makna budaya sebagai fenomena sosial yang bisa membangun karakter akal kita dan berefek pada perilaku. 

Dan budaya ini tak melulu soal "budaya" tradisional seperti tarian atau lagu daerah, tapi bisa berarti kebiasaan kita sehari-hari.

Kebiasaan yang melekat dan sudah dianggap biasa, seperti "meremehkan luka batin" dan mengira... bahwa menimpa luka remeh itu dengan urusan-urusan lain yang dianggap lebih pantas untuk diurus adalah kebijakan yang luar biasa. Padahal, luka itu akan tetap selalu ada. 

***

Memori sepanjang hidup kita sebetulnya sudah tersimpan di dalam otak kita, baik yang kita sadar maupun yang tidak disadari. 

Misal, memori kita saat bayi atau balita, tentu kita ga bisa mengingatnya, karena kemampuan kognitif kita belum berkembang. Tapi, di saat itu lah kita sudah mulai mengobservasi dan belajar. Itu berarti, sebenarnya proses belajar itu sudah tersimpan di dalam memori, bukan? Hal ini sedikit nyambung dengan analogi "melupakan" dan berusaha "menghilangkan ingatan." 

Saat kita terluka, rasanya kita sangat ingin menyingkirkan luka itu. Melupakan saja terkadang tak cukup. Harus Hilang! Sayang sekali, ingatan kita tak pernah menghilang, sejak kita lahir ke dunia hingga usia kita di detik ini. 

Jadi, jalan terbaik soal memori atau ingatan tentang luka adalah BERDAMAI DENGAN LUKA. Baik dengan diri kita sendiri, subjek, maupun objek yang sudah membuat batin kita terluka dan menyiksa. 

Dan bukan sebuah kebijakan kalau kita menganggap suatu masalah adalah masalah remeh, mau soal cinta-cintaan, cengeng, atau baper, masalah akan selalu menjadi masalah yang menuntut untuk diselesaikan, atau ia akan menjadi luka yang selalu berdarah. 

Photo by Nick Herasimenka on Unsplash 
Photo by Nick Herasimenka on Unsplash 
Bayangin aja deh, kita ambil contoh masalah cinta dan baper ini adalah masalah yang remeh, jauh lebih remeh daripada masalah kita di kantor. Kita merasa tak ada waktu sedikit pun untuk menyelesaikan kebaperan ini. Waktu terus berjalan, masalah baru silih berganti datang meminta untuk diberi solusi oleh kita.

Suatu saat, masalah kita kian menumpuk, mereka juga adalah masalah "remeh" yang kita tunda untuk diselesaikan. Suatu saat, kita ditanya "kapan nikah?"

Padahal, masalah kebaperan kita, kesensian kita sama masalah-masalah kecil, belum terpulihkan (healing). Atau ... ternyata kebaperan kita di masa lalu melahirkan semacam trauma untuk memulai hubungan dengan lawan jenis.

Rasanya, tak mungkin untuk saat ini menyelesaikan masalah itu dengan rinci karena kini, masalah kita udah menggunung bak setrikaan yang tak pernah kita pipil digosok. Kebayang ntar kelanjutan ceritanya gimana? Ini adalah sebuah permisalan yang mungkin benar-benar terjadi, entah satu banding berapa pembaca di platform online ini.

***

Menyesuaikan prolog tadi, aku melihat ada kebaikan dan kesadaran si Bagas untuk menjaga perasaan/batin si Uta. Ia tidak ingin melanjutkan perasaan sukanya, karena Bagas tau, hal itu akan menyiksa Uta dalam waktu yang lama, semacam perasaan dan luka atas cinta bertepuk sebelah tangan. 

Bagas tau, luka itu punya potensi untuk membuat Uta mengalami fase hidup yang berat. Bagas adalah orang baik. Dan aku yakin, dia melakukan itu setelah mempelajari karakter dan kepribadian Uta, sehingga dia merasa cara penolakannya akan diterima baik oleh si Uta. 

Tentu, ga mengesampingkan kekuatan doa, karena perasaan adalah milik Allah, Yang Maha Kuasa membolak-balikkan hatinya manusia.

***

"Kita seringkali lupa bahwa kita adalah manusia. Orang lain pun demikian. 
Kita punya akal dan perasaan, yang masing-masing butuh dilindungi, 
dikasihi, dan diseimbangkan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun