Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang P Frans Lieshout, OFM "Si Gembala Orang Baliem"

31 Mei 2023   06:50 Diperbarui: 31 Mei 2023   08:06 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog 

Pater Frans atau yang sering akrab di sapa "tete" di kalangan tim Pastoral dekenat Pegunungan  Tengah merupakan seorang misionaris terakhir dari negeri Kincir angin Belanda yang tinggal dan masih berkarya di wilayah pastoral  dekenat pegunungan tengah sebelum akhirnya pulang ke negeri Belanda dan meninggal dunia di sana. 

Sebelum Kepulangannya Ke Belanda karena sakit;  Di usia senjanya beliau banyak bergumul dan menulis buku tentang orang Baliem dan kebudayaannya. Selain menulis buku, setiap hari minggu beliau membantu pelayanan di wilayah paroki Kristus Jaya, Wamena. 

Tulisan ini merupakan sebuah penghormatan yang setinggi-tingginya bagi beliau yang pernah membimbing penulis saat membantu beliau melayani umat di beberapa kapela sekitar kota Wamena sejak tahun 2017-2018. 

Saat itu penulis menjalani tahun orientasi pastoral di paroki Kristus Jaya, Wamena dan setiap hari minggu harus bersama beliau melayani umat Tuhan di sekitar sudut kota Wamena.

Si Tua teladan Pastoral 

Pater Frans atau saya lebih akrab memanggilnya dengan sebutan tete. Beliau sangat fasih berbicara bahasa Baliem. Terhitung sejak tahun 1960-an, sejak awal kedatangannya beliau sudah malang melintang berkarya sebagai pastor  di pedalaman pegunungan Papua. Mulai dari dunia 'Wiselmeren' hingga Suku Moni dan yang terakhir beliau menetap di lembah Agung Baliem. 

Setahu penulis lika-liku hidup pelayanan beliau sepanjang hidupnya terpusat pada orang (umat) asli. Dia adalah pribadi yang sangat mencintai umat asli. Hal itu dilakukannya dengan cara belajar budaya dan bahasa daerah setempat; hadir dan tinggal bersama mereka.

Dengan demikian dia sungguh-sungguh masuk dalam kehidupan mereka. Masuk dalam dunia mereka. Dia selalu ada bersama mereka mengalami suka dan duka hidup bersama mereka. 

Dia menjadi satu-satunya misionaris yang sungguh sangat mencintai orang Baliem dengan segala seluk beluk kebudayaannya dan dengan segala macam kehidupan sosialnya. 

Beliau yang dengan caranya tersendiri dia menguasai budaya ini dengan sangat mendalam. Ingatan yang kuat tentang budaya Baliem menjadikannya seorang imam yang bagi saya pribadi merupakan si Tua teladan pelayan pastoral sejati.

Cara yang paling unik yang saya dapatkan dari beliau adalah pengalaman bersama beliau ketika misa hari minggu di kapela-kapela sekitar kota wamena. Ada beberapa hal yang membuat saya terkesima secara pribadi. 

Yang pertama, ketika sampai di halaman kapela dengan mobil tuanya beliau turun dan langsung menyapa umat dengan bahasa daerah; lalu beliau akan  memberi salam dan bertanya kepada umat satu persatu, sedangkan saya ditugaskan untuk mengatur dan mempersiapkan alat-alat misa. 

Kepada anak-anak kecil beliau akan bertanya kepada mereka dala bahasa hubula: hat etaka sa? (namamu siapa?) kemudian si anak itu akan menjawab (misalnya) Melkias, lalu Tete melanjutkan dengan bertanya : Ukuluak a? (fam kamu apa?) Si melkias kemudian menjawab Huby. Tete kemudian langsung menyebut nama orang tuanya, nama kakeknya dan silimo (honai adatnya). 

Saat mengetahui nama dan 'fam' mereka maka tete langsung akan teringat tentang siapa orang tua dari anak itu, siapa kakek dari anak itu dan asalnya dari honai di kampung mana? Hebatnya lagi tete akan menceritakan pengalamannya bersama dengan orang-orang yang dia kenal tersebut.

 Ia  sungguh benar-benar masuk dalam kehidupan orang Baliem. Ini baru satu contoh yang luar biasa; masih banyak cerita hebat yang beliau lakukan dan kita bisa mengetahuinya dari orang-orang tua. Tete Frans sungguh hadir untuk dan bersama umat dalam kehidupan dan seluk-beluk mereka.

Yang kedua, beliau menyapa umat dalam perayaan ekaristi sering kali dengan bahasa daerah walaupun tidak menggunakannya secara penuh. Sapaan ini membuat umat merasa sungguh-sungguh disapa oleh gembala mereka. 

Firman yang hendak disampaikan kepada mereka didengarkan dengan serius dan saksama sehingga sikap dan gerak tubuh  mereka dalam menanggapi dan ikut serta dalam liturgi sungguh-sungguh hidup dan aktif. 

Yang ketiga, setelah selesai perayaan ekaristi, kebiasaan yang selalu dibuat adalah menyapa umat dengan memberikan salam dan berpenggangan tangan saat umat hendak keluar dari pintu Gereja. 

Sapaan ini sungguh meneguhkan umat. Mereka merasa disapa dan mereka sungguh-sungguh menghormati Beliau sebagai gembala mereka. Tete Frans menunjukkan kepada saya dan umat yang dilayaninya sebagai seorang sosok teladan pelayan pastoral yang sejati; yang sungguh-sungguh masuk dalam kehidupan umat asli.

Si Gembala Orang Baliem

Julukan penulis secara pribadi buat tete adalah "si gembala orang Baliem". Julukan ini pantas disematkan kepada beliau karena dengan cara dan hidupnya ia sungguh-sungguh masuk dalam kebudayaan orang Baliem. 

Bahkan ketika menjelaskan tentang budaya Baliem banyak generasi muda asli Baliem saat ini yang justru tidak mengetahuinya seperti pengetahuan tete Frans akan budaya mereka. 

Dia sungguh menguasai budaya Baliem dan fasih berbicara bahasa daerah orang lembah. 

Ketika ditanya sejumlah hal berkaitan dengan cara hidup, tradisi dan budaya orang Baliem  maka beliau akan menjelaskannya secara rinci dan sederhana dan muda dipahami. Cara beliau bercerita juga seperti membawa kita benar-benar masuk pada suasana hidup orang Baliem dan kebudayaannya.

Si gembala orang Baliem ini mengetahui secara detail budaya orang Baliem. Cara untuk mengetahui dan menguasai kebudayaan mereka dilakoninya dengan hidup bersama mereka. 

Tinggal bersama mereka dan ada di tengah-tengah pergumulan hidup mereka. Tema-tema sentral dalam kebudayaan orang Baliem misalnya soal "Wam, Wen, Wene" diangkatnya menjadi gerak pastoral. 

Juga hari-hari persaudaraan (HHP) menjadi wadah berkumpulnya semua "tiang-tiang gereja" perwakilan dari setiap paroki dan wilayah mereka duduk untuk membahas kehidupan berbudaya, kehidupan menggereja dan kehidupan bermasyarakat bagi orang Baliem sendiri. 

Pergumulan dan perjuangan ini semua diangkatnya menjadi cara dan gaya hidup berpastoral di lembah Baliem. Para katekis diajarkan dan diberi pelatihan untuk sungguh-sungguh menerjemahkan renungan dan kotbah seturut teladan Injil yang benar-benar masuk dalam kehidupan dan kebudayaan orang Baliem. 

Semua ini dilakukan tete Frans karena kecintaanya terhadap umat Baliem. Bahkan dalam isu yang beredar sebelum kematianya; ia meminta diperabukan secara adat orang Baliem. Tetapi hal itu tidak terjadi lantaran ia pulang ke negerinya dan meninggal dunia di sana karena penyakit yang dideritanya.

Epilog 

Terimakasih tete untuk semua cinta, ajaran dan pengalaman yang tete berikan kepada umat asli Baliem dan kepada saya secara khusus saat saya masih menjalani masa TOP di Wamena. 

Terimakasih untuk nasihat yang tidak akan terlupakan bahwa melayani harus dengan hati, masuk dalam kehidupan orang asli dan tinggal bersama mereka. Mewartakan injil yang sungguh mendarat menerangi budaya. Menjadikan suka duka umat asli sebagai suka duka seorang gembala. 

Pergi dengan senyum pulanglah juga dengan senyum dan jangan pernah bersungut-sungut. "Nopase Hawurakma... selamat jalan sampai bertemu di waktu Tuhan dalam Kerajaan surga abadi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun