Oknum-oknum dengan jenis pola pikir yang demikian pantas untuk dilihat kembali "otak kebinatangannya". Seperti oknum dosen dalam cerita di atas. Pendidik jenis demikian tentunya menjadi biang utama dalam mencentak generasi rasisme. Â Mirisnya pendidikan di negeri ini dengan tindak tanduknya malah dihancurkan lagi dengan memupuk perlakuan rasis bagi generasi.Â
Filsuf Voltaire mengatakan "pada dasarnya semua manusia itu sama yang membedakan itu bukan keturunan tetapi kebenaran dan kebaikkan". Â
Mengedepankan humanisme diatas segalanya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Pengalaman di atas adalah realitas yang perlu disadari oleh kita semua. Sejauh mana saya memperlakukan sesama saya. Â Memanusiakan manusia sebagai manusia bukan sebaliknya. Â Â
Sejalan dengan itu Filsuf Levinas menegaskan "respondeo ergo sum (saya bertanggungjawab maka saya ada)Â " sebagai satu-satunya jalan manusia itu berada.Â
Eksistensi manusia diwujudnyatakan dengan sejauh mana saya bertanggungjawab terhadap orang lain tanpa mengharapkan sesuatu. Tanggung jawab itu harus bersifat asimetris tanpa adanya resiprositas. Â Dengan demikian hal ini jugalah yang harus mendasari dunia pendidikan di negeri ini.Â
Pendidik itu bertanggungjawab memanusiakan manusia bukan memupuk bibit superioritas, Â radikalisme, Â diskriminasisme, fanatisme dan stereotipe bagi generasi penerus. Pendidikan adalah kewajiban setiap manusia untuk mengangkat serta menghargai hak dan martabat setiap manusia. Ingat dan camkanlah bahwa kemanusiaan harus selalu melampaui segala hal di atas muka bumi ini.
(Tulisan ini diterbitkan berdasarkan ijin dari penulis yang bersangkutan. Â Sebelumnya sudah dimuat di laman facebook penulis).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H