Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stereotip Rasisme Mahasiswa Papua

13 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 13 Juni 2020   21:53 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasisme ini juga menyangkut Perilaku individu (pribadi), ada Pribadi yang Akhlaknya sangat rendah, juga ada pribadi yang rasa simpati (empatinya) itu sangat rendah atau bahkan hampir tidak ada sehingga peluang dia melakukan tindakan rasisme itu sangat besar, sama seperti kasus yang diceritakan di atas.

Dalam dunia kampus ada rasisme perilaku individu (oknum dosen), ada individu yg melakukan tindakan itu, tetapi ada juga yang memberikan dukungan, dan itu sangat banyak,termaksud Banyak dosen yang terus berikan dukungan bagi saya. Mereka luar biasa.
Terimaksih untk pelajaran berharga. Semoga Kita Bisa jadi Pribadi-pribadi  yang  membawa dampak positif dan tidak menjadi pelaku rasis.

Catatan Reflektif

Rasisme itu bermula dari stigmatisasi yang melekat pada individu. Individu itu memiliki pola pikir yang sudah terpolarisasi bahwa orang jenis ini, atau orang yang berasal dari daerah ini pasti tidak bisa,  emosian,  kasar, jelek, kotor, bau dan masih banyak lagi stigma yang dialamatkan untuk membedakan kemampuan satu manusia dengan yang lainnya. 

Pengalaman cerita diatas sedikit membeberkan realitas miris yang dihadapi oleh sebagian besar anak-anak Papua yang kuliah di luar daerah. 

Ada yang salah dengan keadaan negara saat ini. Subjektivisme selalu mendahului objektivisme. Hal ini tentunya didasarkan pada konsep yang sudah lama terpatri dalam otak individu tertentu.  

Superioritas budaya menjadi titik tolak rasisme itu berakar.  Sebut saja misalnya ada cuitan yang pernah beredar saat pilpres 2019 bahwa di Indonesia ini selamanya yang bisa jadi presiden adalah "orang Jawa yang beragama Islam". 

Cuitan ini tentunya lahir dari polarisasi superioritas budaya dan fanatisme agama yang menganggap diri sendiri  dan budaya sendiri lebih baik sedangkan di luar itu tidak.

Tentunya bukan hanya pengalaman demikian yang terjadi dalam kehidupan politik dan sosial di negara yang katanya "mencintai demokrasi ini" . Stigmatisasi dalam dunia pendidikan pun lebih parah. 

Ada konsep di negara ini yang sudah tersistematisasi bahwa anak-anak yang dari ujung timur itu pasti bodok, kotor,  bau dan jelek.  Hal ini tentunya menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap ras dari daerah ujung timur negeri ini. Dengan demikian perlakuan diskriminatif pun tidak luput dari mereka yang sedang mengenyam pendidikan di luar daerah.  

Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain)  pantas dialamatkan kepada mereka yang suka rasis,  diskriminatif dan terlalu fanatik dengan agama dan  budayanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun