Di tengah kekacauan itu, Pak Karto berhasil melarikan diri ke dalam hutan bersama Yuni. Mereka bersembunyi di sebuah pondok tua, jauh dari sungai.
"Yuni, kau harus kuat. Kita akan mencari tempat baru," kata Pak Karto dengan suara pelan.
Yuni hanya mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan. Ia tahu hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
Beberapa minggu kemudian, suasana di sungai Melawi mulai berubah. Para pekerja tambang emas yang tertangkap telah dibebaskan, tapi mereka enggan kembali bekerja dalam waktu dekat.
Pak Karto melamun, dia tidak tahu yang dia lakukan. Bekerja ladang? Lahan sudah kurang karena untuk perkebunan sawit. Berkebun? Pupuk sangat mahal. Bersawah? Dia tidak faham karena belum pernah belajar dan tidak ada yang mengajari.
Kerja kayu dan hasil alam lainnya? Nanti di tangkap aparat lagi. Bekerja lainnya? Tidak ada lapangan kerja. Meskipun ada, maka akan selalu dikhususkan untuk orang segolongan.
Bekerja di kantoran? Itu perlu ijasah tertentu. Dirinya tidak bersekolah, karena biayanya tidak terjangkau kantong orang tuanya. Sehingga dirinya SD pun tidak tamat.
Waktu berlalu dan berevolusi dalam waktu yang cukup lama. Karena lama mereka tidak mengerjakan emas lagi, sungai perlahan-lahan mulai pulih, meskipun butuh waktu lama untuk kembali seperti semula.
Husni sering melihat Yuni di tepi sungai, duduk sendirian sambil memandang air yang mengalir. Gadis itu termenung dan diam seribu bahasa.
Suatu hari, ia memberanikan diri untuk mendekatinya. "Yuni, bagaimana keadaanmu?" tanya Husni.
"Ayahku memutuskan untuk berhenti bekerja emas. Tapi hidup kami jadi lebih sulit sekarang," jawab Yuni dengan suara lirih.