"Lihat tuh!" seru Pak Dullah marah-marah.
"Kalau sekali-dua kali sih bisa dimaafkan. Tapi ini sudah tiap hari, dan tiap hari juga aku harus bersihkan mobil karena ayam-ayam itu! Kalau begini terus, nanti mobilku jadi kandang ayam!"
Tak tahan lagi, beberapa tetangga akhirnya berunding. Mereka semua sepakat untuk berbicara baik-baik kepada Pak Khairul tentang ayam-ayamnya. Maka, berkumpullah mereka di rumah Pak Dullah, yang memimpin pertemuan ini.
"Pak Khairul ini orangnya baik sebenarnya," kata Pak Dullah memulai. "Tapi ayamnya... ah, sudahlah. Kita perlu bicara baik-baik sama dia."
Namun, Pak Dullah yang terkenal paling berani ini rupanya tetap merasa gugup. "Bagaimana kalau dia ceramah panjang lagi?" gumamnya khawatir.
Tetangga-tetangga lainnya pun mengangguk-angguk. Mereka semua tahu, bicara dengan Pak Khairul tidaklah mudah. Begitu ia mulai bicara soal agama, bisa-bisa topik ayam terlupakan dan mereka malah dapat ceramah gratis.
Meski begitu, pertemuan ini membulatkan tekad. Mereka pun mendatangi rumah Pak Khairul dengan hati-hati. Saat sampai di sana, mereka disambut oleh Pak Khairul yang sedang duduk santai di teras dengan teh manis dan sebuah buku agama tebal di tangannya.
"Ada apa ini, tetangga-tetangga sekalian?" tanyanya dengan senyum lebar. "Alhamdulillah, ini bisa kita jadikan ajang silaturahmi. Ada yang ingin didiskusikan?"
Pak Dullah berdeham. "Eh, iya, Pak Khairul. Sebenarnya, kami mau membicarakan soal ayam-ayam, Pak."
"Ayam?" Pak Khairul mengerutkan dahi, tampak bingung. "Ayam yang mana?"
"Ayam-ayam Bapak," lanjut Pak Dullah dengan hati-hati. "Ayam-ayam Bapak itu, kan, sering berkeliaran, masuk ke halaman orang, mengais-ngais tanaman... ya, maaf, Pak, kadang juga... buang kotoran di teras orang."