Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hubungan Terlarang Guru vs Murid di Gorontalo

29 September 2024   18:52 Diperbarui: 29 September 2024   18:56 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan antara guru dan murid di Indonesia selalu diwarnai oleh harapan moral yang tinggi, di mana seorang guru dipandang sebagai sosok pembimbing, pendidik, serta teladan bagi para siswa.

Namun, ketika relasi ini melampaui batas-batas profesionalisme dan etika, seperti terjadinya kasus hubungan terlarang antara guru dan murid, maka hal tersebut menimbulkan berbagai polemik di masyarakat.

Kasus yang baru-baru ini terjadi di Gorontalo, di mana seorang guru diduga terlibat dalam hubungan romantis dengan muridnya yang masih berusia 16 tahun, menjadi sorotan tajam dari berbagai sudut pandang, baik hukum, etika, maupun perlindungan anak.

Fenomena ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik terhadap profesi guru, tetapi juga menuntut perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat luas. Dalam tulisan ini, akan dibahas secara mendalam hubungan terlarang tersebut dari perspektif hukum, etika, serta keterlibatan pemerintah, dilihat dari UUD 1945 dan aspek perlindungan anak.

Aspek Hukum dalam Kasus Hubungan Guru dan Murid

Dalam konteks hukum Indonesia, hubungan terlarang antara guru dan murid yang melibatkan anak di bawah umur, sebagaimana kasus yang terjadi di Gorontalo, sangat jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 Pasal 76D menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.

Sementara itu, Pasal 81 UU Perlindungan Anak mengatur bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dapat diancam dengan hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda hingga 5 miliar rupiah.

Murid yang masih berusia 16 tahun dalam kasus ini jelas dikategorikan sebagai anak di bawah umur menurut hukum. Dengan demikian, meskipun hubungan tersebut mungkin tampak sukarela dari kedua belah pihak, secara hukum hubungan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan atau pemanfaatan anak, terutama karena adanya relasi kuasa yang timpang antara seorang guru dan murid.

Hubungan ini tidak hanya dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap kode etik profesi guru, yang menuntut setiap pendidik untuk menjaga integritas moralnya dan melindungi peserta didik.

Dalam pandangan hukum pidana, guru yang terlibat dalam hubungan semacam ini juga dapat dikenai sanksi atas penyalahgunaan wewenang. Sebagai figur otoritas yang seharusnya membimbing murid, keterlibatan guru dalam tindakan yang merugikan murid secara emosional dan psikologis dianggap sebagai pelanggaran berat.

Keberadaan relasi kuasa ini menimbulkan ketidaksetaraan dalam hubungan, di mana guru memiliki kendali yang lebih besar atas kehidupan murid, baik secara akademis maupun personal, yang dapat dimanipulasi demi kepentingan pribadi.

Keterlibatan Pemerintah dalam Perspektif UUD 1945

Dalam UUD 1945, terdapat beberapa pasal yang relevan terkait dengan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak-hak anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Hal ini berarti bahwa negara, termasuk pemerintah daerah, memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan anak dari segala bentuk ancaman, termasuk eksploitasi atau hubungan yang merugikan antara guru dan murid.

Di sisi lain, Pasal 31 UUD 1945 yang mengatur hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak juga mengimplikasikan bahwa lingkungan pendidikan harus bebas dari segala bentuk ancaman, termasuk kekerasan seksual atau hubungan yang tidak sehat antara pendidik dan peserta didik.

Pemerintah, melalui kementerian pendidikan dan lembaga terkait, harus lebih proaktif dalam mengawasi dan memastikan bahwa sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Hal ini dapat dilakukan melalui regulasi yang ketat, pengawasan yang lebih baik, serta edukasi yang menyeluruh tentang etika profesional bagi para pendidik.

Kasus di Gorontalo menunjukkan bahwa ada celah dalam pengawasan dan perlindungan anak di lingkungan sekolah. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, seharusnya lebih aktif dalam memantau dan menindaklanjuti kasus-kasus seperti ini, termasuk dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pihak yang bersalah.

Selain itu, diperlukan adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran di kalangan pendidik tentang batasan etika dan hukum dalam berinteraksi dengan peserta didik.

Etika dan Relasi Kuasa dalam Hubungan Guru-Murid

Dari sudut pandang etika, hubungan antara guru dan murid yang melampaui batas profesionalisme merupakan tindakan yang sangat tidak etis. Seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan moralitas murid.

Relasi yang terjadi antara guru dan murid seharusnya didasarkan pada rasa hormat, bimbingan, serta profesionalisme. Ketika seorang guru terlibat dalam hubungan romantis atau seksual dengan muridnya, terjadi pelanggaran serius terhadap kepercayaan yang telah diberikan oleh murid, orang tua, serta masyarakat.

Etika profesi mengharuskan seorang guru untuk senantiasa menjaga integritas moral dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Dalam kasus ini, hubungan terlarang yang terjadi menunjukkan adanya penyalahgunaan posisi otoritas, di mana guru menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memanfaatkan murid yang masih berada dalam fase pencarian jati diri.

Hubungan semacam ini sangat rentan terhadap manipulasi, di mana murid, yang mungkin belum matang secara emosional, tidak mampu melihat dinamika relasi kuasa yang tidak setara tersebut.

Selain itu, dari perspektif psikologis, hubungan ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan mental dan emosional murid. Murid yang terlibat dalam hubungan semacam ini dapat mengalami kebingungan identitas, tekanan emosional, dan trauma yang mendalam.

Pada usia 16 tahun, seorang anak masih dalam tahap perkembangan, baik secara fisik maupun psikologis, sehingga hubungan semacam ini sangat rentan menimbulkan gangguan emosional jangka panjang.

Perlindungan Anak dalam Konteks Hukum

Undang-Undang Perlindungan Anak sangat jelas melarang segala bentuk kekerasan atau eksploitasi terhadap anak di bawah umur, termasuk dalam konteks hubungan romantis atau seksual.

Anak di bawah usia 18 tahun, seperti murid yang berusia 16 tahun dalam kasus ini, dianggap belum matang secara hukum untuk memberikan persetujuan yang sah terhadap hubungan semacam itu.

Ini berarti bahwa hubungan tersebut secara otomatis masuk dalam kategori pelanggaran hukum, meskipun mungkin terdapat kesan adanya persetujuan dari pihak anak.

Pengadilan dan lembaga hukum di Indonesia menempatkan perlindungan anak sebagai prioritas utama dalam menilai kasus-kasus seperti ini. Guru sebagai orang dewasa yang memiliki tanggung jawab moral dan hukum atas kesejahteraan murid, tidak dapat berlindung di balik alasan persetujuan dari pihak anak.

Dalam konteks ini, hukum memandang bahwa anak berada dalam posisi yang rentan dan perlu dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan masa depannya.

Hal yang Bisa Disimpulkan

Kasus hubungan terlarang antara guru dan murid di Gorontalo bukan hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap etika profesi dan moralitas yang diharapkan dari seorang pendidik.

Dalam perspektif hukum, tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan dapat dikenai sanksi pidana berat. Dari sudut pandang etika, hubungan tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.

Pemerintah, sesuai dengan amanat UUD 1945, harus lebih berperan aktif dalam memastikan perlindungan anak di lingkungan sekolah melalui regulasi, pengawasan, dan edukasi yang lebih baik.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun