Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sewaktu Pulang Kampung Setelah 50 Tahun

27 September 2024   07:37 Diperbarui: 27 September 2024   07:39 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/05/06/berburu-sape-ke-pedalaman-kalimantan-cerita-tak-terlupakan

Setelah lebih dari lima puluh tahun, dua orang bibi saya memutuskan untuk pulang kampung, sebuah perjalanan panjang dan penuh makna. Kampung yang mereka tuju bukanlah tempat yang mudah dijangkau, letaknya di pedalaman Pulau Kalimantan.

Jarak yang harus mereka tempuh sekitar lima ratus kilometer dari tempat mereka tinggal sekarang, dan sebagian besar perjalanan harus dilakukan melalui jalur sungai yang panjang dan berliku.

Jalur sungai ini tidaklah murah; mereka harus menggunakan speed boat yang biayanya mahal karena hingga saat ini belum ada jalan darat yang memadai untuk mencapai kampung halaman mereka.

Meski perjalanan ini mahal dan melelahkan, kegembiraan mereka tampak tak terbendung. Sudah bertahun-tahun lamanya mereka tidak menginjakkan kaki di kampung tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Di benak mereka, memori tentang masa kecil yang indah kembali hidup. Rasa rindu terhadap tanah kelahiran mereka kian menguat seiring dengan bertambahnya usia. Mereka ingin merasakan kembali suasana yang pernah mereka tinggalkan sekian lama, melihat tanah yang dulu begitu akrab, dan mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah mereka ciptakan bersama keluarga.

Selama lebih dari lima dekade, mereka tinggal di kota besar, sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mereka harus mengurus keluarga, membesarkan anak-anak hingga mereka dewasa, menyelesaikan pendidikan, dan mempersiapkan mereka untuk hidup mandiri.

Anak-anak mereka kini telah menikah, memiliki pekerjaan, dan tinggal jauh dari kampung halaman. Dalam keseharian mereka yang sibuk, kampung halaman seolah menjadi tempat yang hanya ada dalam ingatan. Namun, rasa rindu itu terus menggerogoti, dan semakin lama semakin sulit diabaikan.

Akhirnya, setelah berbagai pertimbangan, mereka memutuskan untuk kembali. Bukan karena mereka mengharapkan sesuatu, bukan pula karena ingin membicarakan harta atau warisan, tetapi murni karena kerinduan yang teramat dalam terhadap tempat yang pernah mereka sebut rumah. Mereka hanya ingin melihat kembali tanah kelahiran mereka, merasakan udara kampung yang khas, dan mengenang masa-masa bahagia yang pernah mereka alami bersama orang tua dan saudara-saudara mereka.

Perjalanan itu pun dimulai. Dengan penuh harap dan antusiasme, mereka menyiapkan segala sesuatunya. Tiket speed boat sudah dipesan, barang-barang telah dikemas, dan hati mereka dipenuhi perasaan hangat membayangkan kampung halaman.

Meskipun perjalanan melalui sungai memakan waktu yang lama dan biayanya mahal, mereka tak peduli. Dalam benak mereka, semua kesulitan itu akan terbayar begitu mereka tiba di kampung halaman.

Speed boat melaju cepat di atas sungai yang berliku. Pemandangan alam Kalimantan yang memukau sesekali menarik perhatian mereka. Hutan hijau yang lebat, sungai yang lebar dan tenang, serta langit biru yang cerah menjadi latar belakang perjalanan mereka. Namun, tak ada yang lebih membuat hati mereka berdebar selain memikirkan momen ketika mereka akan menginjakkan kaki di tanah kelahiran setelah sekian lama.

Setibanya di kampung, mereka disambut oleh suasana yang familiar namun juga terasa asing. Kampung mereka sudah banyak berubah. Rumah-rumah kayu tua sebagian besar telah diganti dengan bangunan yang lebih modern. Wajah-wajah yang mereka kenal sebagian sudah tiada, digantikan oleh generasi yang lebih muda. Namun, ada beberapa hal yang tetap sama---aroma tanah basah, suara aliran sungai, dan keheningan yang menenangkan.

Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Salah satu saudara mereka yang sudah tua menyambut mereka dengan pertanyaan yang mengejutkan dan meresahkan. "Untuk apa kalian pulang ke sini?" tanya sang saudara dengan nada dingin. "Harta kita sudah habis, tidak ada yang bisa dibagi lagi."

Kata-kata itu seperti menghujam hati mereka. Mereka datang bukan untuk harta, bukan untuk warisan. Namun, pertanyaan itu membuat mereka merasa seolah-olah kehadiran mereka tak diinginkan, seolah-olah pulang kampung hanya dianggap sebagai upaya mencari keuntungan materi.

Padahal, niat mereka tulus, hanya ingin kembali merasakan kenangan masa lalu, mengunjungi tempat yang mereka cintai sebelum waktu membawa mereka pergi selamanya.

Bibi saya yang lebih tua terdiam, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, bibi saya yang lebih muda mencoba menjelaskan. "Kami datang bukan untuk mencari harta," ujarnya dengan suara bergetar. "Kami hanya rindu. Kami hanya ingin melihat kampung ini sekali lagi sebelum kami meninggal."

Namun, kata-kata itu tampaknya tak cukup untuk mengubah suasana. Sang saudara tua tetap diam, tampak acuh tak acuh. Mungkin baginya, kerinduan dan kenangan tak lagi berarti. Ia sudah hidup terlalu lama dengan kesulitan, mungkin terlalu terbiasa dengan rasa kehilangan, hingga tak ada lagi tempat untuk nostalgia.

Kedua bibi saya merasa sangat sedih. Perjalanan yang seharusnya penuh kebahagiaan kini diwarnai oleh perasaan terluka. Mereka datang dengan harapan bisa merasakan kembali kehangatan kampung halaman, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah kekecewaan. Rasa rindu yang begitu besar ternyata tidak bisa menghapus kenyataan pahit bahwa kampung halaman sudah tak lagi sama seperti dulu.

Namun, mereka tak ingin larut dalam kesedihan. Setelah merenung, mereka menyadari bahwa kampung halaman memang sudah berubah, begitu pula dengan orang-orang di dalamnya. Hidup terus berjalan, dan perubahan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Meski terasa menyakitkan, mereka tahu bahwa waktu tak bisa diputar kembali.

Hari-hari berikutnya di kampung dihabiskan dengan cara yang lebih tenang. Mereka berusaha menikmati setiap momen, meski perasaan terluka itu belum sepenuhnya hilang. Mereka berjalan-jalan di sekitar kampung, mengunjungi tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi.

Mereka duduk di tepi sungai, mendengarkan aliran air yang mengalir dengan tenang, seperti dulu. Mereka mencoba untuk menerima kenyataan bahwa kampung halaman yang mereka kenal mungkin sudah hilang, tetapi kenangan tentang kampung itu akan selalu ada dalam hati mereka.

Selama di kampung, mereka juga bertemu dengan beberapa orang yang masih mengenali mereka, meskipun jumlahnya tidak banyak. Orang-orang ini menyambut mereka dengan hangat, mengajak mereka bercerita tentang masa lalu.

Mereka berbagi tawa dan tangis, mengenang keluarga yang sudah tiada dan momen-momen indah yang pernah mereka alami bersama. Dalam pertemuan-pertemuan kecil ini, mereka menemukan kembali sedikit kebahagiaan yang sempat hilang.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tak bisa mereka lupakan: pertanyaan dari saudara mereka yang tua tadi. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benak mereka, mengingatkan bahwa tak semua orang bisa memahami niat tulus mereka.

Beberapa orang, terutama mereka yang telah hidup terlalu lama dalam kesulitan, mungkin melihat dunia dengan cara yang berbeda. Bagi mereka, setiap tindakan mungkin selalu dikaitkan dengan motif materi atau keuntungan.

Perjalanan pulang mereka dari kampung tidak lagi penuh dengan antusiasme seperti saat pergi. Mereka merasa bahwa meskipun mereka telah kembali ke tempat kelahiran mereka, sesuatu telah berubah selamanya. Kampung itu kini terasa asing, meskipun masih ada sisa-sisa kenangan yang mereka kenal.

Namun, mereka tahu bahwa pulang kampung ini adalah sesuatu yang penting, sesuatu yang harus mereka lakukan sebelum mereka pergi selamanya. Meski tak semuanya berjalan sesuai harapan, mereka tetap bersyukur bisa mengunjungi kampung halaman mereka sekali lagi.

Beberapa minggu kemudian, saat speed boat kembali membawa mereka menjauh dari kampung, mereka duduk bersebelahan, saling diam. Tak banyak kata yang diucapkan. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengenang perjalanan mereka, baik yang manis maupun pahit.

Mereka tahu bahwa ini mungkin terakhir kalinya mereka melihat kampung halaman itu, dan dengan demikian, perjalanan ini memiliki makna yang sangat dalam.

Di tengah kesunyian perjalanan pulang, salah satu bibi saya, yang lebih muda, berbisik pelan, "Setidaknya, kita sudah kembali. Meskipun tidak seperti yang kita bayangkan, kita telah melihat kampung kita lagi. Itu sudah cukup."

Bibi saya yang lebih tua mengangguk, matanya memandang jauh ke depan, ke arah sungai yang seolah tak berujung. "Ya," jawabnya pelan. "Sudah cukup."

Perjalanan ini memang telah mengajarkan mereka banyak hal---tentang perubahan, tentang waktu yang tak bisa diulang, dan tentang bagaimana kenangan kadang-kadang lebih indah di dalam ingatan daripada dalam kenyataan.

Namun, mereka juga belajar untuk menerima, bahwa meskipun masa lalu tak bisa kembali, mereka masih bisa merasakan kehadirannya melalui kenangan yang terus hidup di dalam hati mereka. Dan itulah yang mereka bawa pulang dari perjalanan ini---bukan harta, bukan warisan, tetapi kenangan dan pelajaran tentang kehidupan.

Ini semua perlu mereka lakukan, sebelum Yang mahakuasa memanggil mereka kembali selamanya. Karena semua manusia pasti mati.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun