Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pegunungan Muller-Schwaner, Warisan Budaya dan Geografis Suku Dayak Dohoi Uut Danum

22 September 2024   07:01 Diperbarui: 22 September 2024   07:08 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wikipedia.org/Pegunungan_Schwaner

Pegunungan Muller-Schwaner merupakan salah satu formasi geografis paling penting di Pulau Kalimantan. Terbentang dari wilayah utara hingga ke selatan pulau ini, pegunungan tersebut menjadi pembatas alami antara berbagai wilayah Kalimantan.

Walaupun secara umum kita mengenalnya dengan nama Pegunungan Muller-Schwaner, masyarakat lokal, khususnya Suku Dayak Dohoi Uut Danum, menyebutnya sebagai "Tomiting."

Nama ini bukan hanya sekadar sebutan geografis, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan budaya dan cerita rakyat setempat yang memperkaya pemahaman kita tentang sejarah dan keunikan kawasan tersebut.

Letak Geografis Pegunungan Muller-Schwaner

Pegunungan Muller-Schwaner terletak di jantung Kalimantan, membentang dari Kalimantan Utara hingga Kalimantan Selatan. Pegunungan ini tidak hanya penting secara geografis sebagai bentang alam yang membatasi wilayah-wilayah Kalimantan, tetapi juga menjadi rumah bagi banyak flora dan fauna endemik.

Dengan saklah satu bukit yang amat terkenal adalah Bukit Raya, yang menurut cerita Dohoi Uut Danum dulunya merupakan gunung tertinggi di dunia, karena bukit raya sampai ke langit saking tingginya. Dalam bahasa Dohoi Uut Danum, Bukit Raya di sebut sebagai Mokorajak.

Burung Garuda ini demikian besarnya, sehingga kalau dia terbang, maka tanah di sebelah aliran sungai Kapuas akan gelap tertutup bayangan sayapnya, yang menutup sinar matahari sehingga orang tidak melihat apa-apa.

Suatu saat di terjang Atang Kahkam (burung Garuda), karena dua orang mahluk jahat dari langit menggunakan gunung itu untuk turun naik dan memangsa manusia di bumi (nama mahluk jahat itu nanti saya masukan, karena sudah lupa. Maklumlah cerita ini diceritakan nenek saya ketika saya masih anak SD tahun 70-an, sementara sekarang saya sudah berumur 62 tahun).

Puruk Mokorajak (Bukit Raya) itu menjadi patah menjadi puluhan bukit kecil-kecil, sehingga kalau ditotal maka tingginya puluhan ribu meter, yang jelas lebih tinggi dari Mount Everest hanya delapan ribuan meter lebih.

Cerita ini diketahui oleh salah satu orang Dohoi Uut Danum yang masuk Islam karena menjadi istri dari salah satu pangeran di kerajaan Sintang, Kalimantan Barat. Kebetulan Pangeran Hamid II dari kesultanan Pontianak, berhubungan erat dengan raja dari kerajaan Melayu Sintang dan pangeran Hamid II pun akhirnya tahu akan cerita ini.

Sehingga ada kemungkinan dari itulah Pengeran Hamid II mengusulkan lambang negera Indonesia menjadi Burung Garuda. Karena kita tidak tahu ada cerita burung besar Di Indonesia yang demikian besar, selain cerita Atang Kahkam ini yang besar besar sayapnya ratusan kilometer.

Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, pegunungan ini memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem Kalimantan yang kaya. Namun, yang mungkin lebih menarik bagi penelitian ilmiah dan kajian antropologis adalah peranan penting pegunungan ini dalam kehidupan budaya masyarakat Dayak, khususnya suku Dohoi Uut Danum.

Suku Dayak Dohoi Uut Danum dan Hubungannya dengan Pegunungan Tomiting

Salah satu suku yang berdomisili di sekitar Pegunungan Tomiting adalah Suku Dayak Dohoi Uut Danum. Suku ini memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan sekitar mereka, dan Pegunungan Tomiting menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.

Dalam tradisi mereka, gunung tersebut bukan hanya dilihat sebagai struktur fisik, melainkan sebagai simbol yang sarat dengan makna spiritual dan budaya. Nama "Tomiting" yang diberikan oleh Suku Dohoi Uut Danum menandakan kedekatan mereka dengan lingkungan alam yang mereka diami, dan menunjukkan bagaimana masyarakat adat ini menghargai dan menjaga lingkungan mereka.

Dalam konteks kebudayaan Suku Dayak Dohoi Uut Danum, pegunungan ini juga menjadi bagian dari cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu cerita yang cukup terkenal adalah cerita Tahtum atau Tehtek Tahtum, yang menggambarkan perjalanan seorang pahlawan bernama Sangen dari Kalimantan Utara hingga Kalimantan Selatan dengan menjelajahi Pegunungan Tomiting.

Cerita Tahtum-Seperti Mahabarata India atau I La Galigo Sulawesi

Dalam salah satu episode cerita rakyat Suku Dayak Dohoi Uut Danum, diceritakan perjalanan epik seorang pahlawan bernama Sangen, dari kelompok 'Behtik Tumbuk Tollun Pulluk' (termasuklah pahlawan Tambun-Bungai di dalamnya), kelompok pahlawan adik-beradik dalam cerita Tahtum sebanyak 30 orang. Cerita ini merupakan jaman tradisi lisan yang ketiga dalam budaya Dohoi Uut Danum.

Karena dalam budaya Dohoi Uut Danum, ada beberapa jaman tradisi lisan, seperti jaman Konyorian Paring Aang (jaman yang pertama), yaitu tentang kejadian alam semesta dan asal-usul kelahiran umat manusia. Setelah itu jaman yang kedua yaitu jaman Kollimoi, ketika manusia Dohoi Uut Danum masih berada di langit.

Dalam cerita ini, suatu saat Sangen iseng melakukan perjalanan dengan sengaja melintasi gunung Tomiting dari Kalimantan Utara hingga ke Kalimantan Selatan. Kisah ini bukan sekadar cerita perjalanan, melainkan sebuah kisah yang penuh dengan simbolisme budaya dan nilai-nilai spiritual.

Menurut cerita, Sangen memulai perjalanannya dengan membawa seekor anak ayam jantan yang baru lahir. Sepanjang perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, Sangen melintasi Pegunungan Tomiting, yang dikenal sebagai gunung yang panjang dan melelahkan.

Ketika ia tiba di Kalimantan Selatan, anak ayam yang dibawanya telah tumbuh menjadi seekor ayam jago dewasa yang sudah bertaji. Artinya tahunan dia melintasi gunung itu, sehingga anak ayam dari kecil dan setelah sampai sudah menjadi ayam jantan besar dan bertaji.

Cerita ini memiliki beberapa lapisan makna yang bisa diinterpretasikan. Perjalanan Sangen melalui pegunungan yang panjang dapat dilihat sebagai metafora dari perjuangan hidup, di mana setiap langkah yang diambil merupakan bentuk kedewasaan dan pertumbuhan, baik fisik maupun spiritual.

Anak ayam jantan yang ia bawa di awal perjalanan melambangkan awal yang sederhana, sedangkan ayam jago bertaji yang ia bawa di akhir perjalanan melambangkan puncak kedewasaan dan keberanian.

Peran Pegunungan dalam Cerita dan Kehidupan Masyarakat Dayak

Pegunungan Tomiting dalam cerita rakyat ini bukan hanya berfungsi sebagai latar belakang geografis semata, tetapi juga menjadi simbol penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Dohoi Uut Danum.

Gunung tersebut dianggap sebagai tempat suci dan memiliki kekuatan spiritual yang besar. Banyak cerita rakyat dan legenda yang berkaitan dengan pegunungan ini, di mana sering kali digambarkan sebagai tempat tinggal para Otuk Hajok (para Dewa), roh leluhur, atau makhluk gaib lainnya.

Bagi masyarakat Dayak, perjalanan Sangen melalui Pegunungan Tomiting juga dapat diartikan sebagai perjalanan spiritual. Dalam banyak kebudayaan adat, pegunungan sering kali dilihat sebagai tempat yang dekat dengan alam gaib atau dunia para dewa.

Oleh karena itu, perjalanan Sangen yang melewati Tomiting bisa dianggap sebagai perjalanan ziarah atau pencarian spiritual yang mendalam.

Selain itu, cerita ini juga mencerminkan kehidupan nomaden atau semi-nomaden yang dijalani oleh masyarakat Dayak pada masa lalu. Sebagai kelompok masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, mereka sering kali melakukan perjalanan jauh melalui hutan, gunung, dan sungai.

Perjalanan ini dilakukan bukan hanya untuk keperluan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk menjaga hubungan spiritual dengan alam dan leluhur mereka.

Kekayaan Budaya dan Ekologi Pegunungan Tomiting

Pegunungan Tomiting bukan hanya penting dalam cerita rakyat, tetapi juga merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Hutan-hutan di sekitar Pegunungan Tomiting menjadi rumah bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia.

Ini menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati yang sangat penting, baik untuk penelitian ilmiah maupun upaya konservasi.

Namun, sayangnya, seperti banyak wilayah hutan hujan tropis lainnya di dunia, Pegunungan Tomiting juga menghadapi berbagai ancaman, seperti deforestasi, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta perubahan iklim.

Masyarakat adat seperti Suku Dayak Dohoi Uut Danum memiliki pengetahuan tradisional yang mendalam tentang cara hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Namun, tekanan dari luar sering kali mengganggu keseimbangan ini.

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh Suku Dayak Dohoi Uut Danum mengenai lingkungan sekitar mereka, termasuk bagaimana mereka menjaga keseimbangan ekosistem, merupakan warisan penting yang perlu dilestarikan.

Dalam menghadapi tantangan modern seperti deforestasi dan perubahan iklim, kita dapat belajar banyak dari cara hidup masyarakat adat ini, yang telah bertahan selama berabad-abad dengan menjaga keharmonisan antara manusia dan alam (bahkan menurut legenda dalam cerita pertama: Konyorian paring Aang, suku ini sudah berusia miliaran tahun, karena mereka tahu kejadian alam semesta dan kelahiran manusia pertama di Alam Semesta).

Nilai-nilai dalam Cerita Rakyat dan Kehidupan Sehari-hari

Cerita rakyat seperti Tahtum atau Tehtek Tahtum tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan ajaran kehidupan kepada generasi muda.

Cerita ini seribng digunakan sebagai hiburan di saat mereka sedang bekerja di ladang atau ketika menganyam di rumah atau sedang berpesta. Karena satu episode cerita ini sangat panjang, bisa tujuh malam panjangnya, karena menceritakannya sambil berlagu dengan seni suara jenis Kandan.

Sementara cerita Tahtum atau Tehtek Tahtum tadi ada ratusan episode, seperti mereka pergi bertempur ke langit, mereka pergi menjelajah sampai ke matahari, mereka pergi mengayau ke negeri China, mereka pergi ke Tombullong Llaut Mindong (Segi Tiga Bermuda)  dan mereka pergi ke dalam kehidupan di bawah air atau dalam bumi (Torusan Tolluk Llang Muvuh Cahan Lluhing Hitan).

Dalam cerita Sangen, kita bisa melihat nilai-nilai seperti ketekunan, keberanian, dan kesabaran. Sangen yang memulai perjalanannya dengan anak ayam jantan kecil menunjukkan bahwa segala sesuatu memerlukan proses dan waktu untuk berkembang.

Demikian pula, ayam jago yang bertaji di akhir cerita menggambarkan hasil dari perjuangan dan perjalanan panjang yang penuh tantangan. Selain itu, cerita ini juga mengajarkan pentingnya menghormati alam dan menjaga keseimbangan dengan lingkungan.

Suku Dayak Dohoi Uut Danum, seperti banyak masyarakat adat lainnya, sangat menghormati alam dan percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki jiwa atau roh. Oleh karena itu, mereka merasa bertanggung jawab untuk menjaga alam agar tetap lestari.

Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai ini tercermin dalam cara hidup mereka yang berkelanjutan. Mereka mengelola sumber daya alam dengan bijak, hanya mengambil apa yang diperlukan dan selalu berusaha untuk menggantikan apa yang telah diambil.

Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat adat dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Sehingga manuysia modern seharusnya tidak berpikir mengeksploitasi alam saja, tetapi harus juga menjaganya.

Pegunungan Tomiting dan Pentingnya Pelestarian Budaya

Dalam era modern ini, di mana tekanan globalisasi dan modernisasi semakin kuat, keberadaan cerita rakyat seperti Tahtum atau Tehtek Tahtum dan warisan budaya lainnya semakin terancam.

Banyak generasi muda yang mulai kehilangan kontak dengan tradisi dan cerita nenek moyang mereka, akibat pengaruh teknologi dan gaya hidup modern. Oleh karena itu, pelestarian budaya seperti cerita rakyat dan pengetahuan tradisional menjadi sangat penting.

Selain itu, Pegunungan Tomiting sebagai salah satu warisan alam yang kaya perlu dilindungi dari ancaman kerusakan lingkungan. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap pelestarian lingkungan sangat penting untuk menjaga kelestarian kawasan ini.

Melalui upaya konservasi yang melibatkan pengetahuan lokal, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa menikmati keindahan alam dan keanekaragaman hayati Pegunungan Tomiting.

Pegunungan Muller-Schwaner, atau Tomiting menurut sebutan lokal Suku Dayak Dohoi Uut Danum, bukan hanya merupakan bentangan alam yang megah di Kalimantan. Pegunungan ini adalah bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Dayak.

Cerita rakyat seperti perjalanan Sangen dalam kisah Tahtum menunjukkan bagaimana pegunungan ini berfungsi sebagai simbol perjuangan, kedewasaan, dan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang warisan budaya dan alam seperti Pegunungan Tomiting, kita dapat belajar banyak tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis.

Ini juga menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian, agar warisan ini tetap ada untuk generasi mendatang.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun