Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Wacana Penghapusan Huruf V

3 September 2024   07:23 Diperbarui: 3 September 2024   07:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.merdeka.com

Dulu pernah ada wacana yang cukup kontroversial dari Kementerian Pendidikan Indonesia: sebuah ide untuk menghapus huruf "V" dari khazanah bahasa Indonesia.

Alasan utama yang mendasari wacana ini adalah fakta bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung mengucapkan huruf "V" sama persis seperti "F". Dalam percakapan sehari-hari, kata-kata seperti "vital" atau "volume" sering kali terdengar seperti "fital" atau "folume". Namun, kenyataannya, pengucapan kedua huruf tersebut sangatlah berbeda dan memiliki nuansa fonetik yang unik.

Huruf "F" dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan meletakkan gigi atas pada bibir bawah, menghasilkan suara yang jelas seperti "f" dalam kata "fajar" atau "fantasi".

Sementara itu, huruf "V" dalam bahasa Inggris, misalnya, diucapkan dengan cara yang serupa, tetapi dengan getaran vokal pada pita suara, menghasilkan bunyi yang lebih lembut, seperti "veh" atau "vi".

Pengucapan "V" ini lebih banyak ditemukan dalam bahasa-bahasa yang digunakan di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, serta Australia. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di Asia, pengucapan huruf ini juga hadir dalam bahasa India, yang kaya dengan bunyi-bunyi yang serupa.

Dalam konteks Indonesia, perbedaan pengucapan ini sering kali diabaikan atau dianggap sepele. Sebagian besar masyarakat, bahkan mereka yang terdidik sekalipun, cenderung menganggap huruf "V" dan "F" sebagai entitas fonetik yang sama.

Namun, pandangan ini sebenarnya kurang tepat. Bahasa adalah lebih dari sekadar alat komunikasi; ia adalah representasi dari identitas budaya dan sejarah, bahkan dari geografi tempat suatu bahasa berkembang. Huruf "V", meskipun jarang digunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari, sebenarnya memiliki peran penting dalam menggambarkan pengaruh linguistik dari luar, serta menunjukkan keragaman fonetik yang ada di nusantara.

Sebagai contoh, dalam tradisi budaya India yang sangat kaya, istilah "Deva" dan "Devi" sering digunakan untuk menggambarkan sosok dewa dan dewi. Dalam bahasa Sanskerta, huruf "V" diucapkan dengan jelas, memberikan nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pengucapan yang lazim digunakan di Indonesia, yaitu "Dewa" dan "Dewi".

Di Indonesia, khususnya dalam bahasa Jawa, pelafalan "V" ini hampir tidak pernah digunakan, karena tidak ada konsonan yang secara fonetik sesuai dengan bunyi tersebut. Akibatnya, kata-kata seperti "Deva" dan "Devi" mengalami proses adaptasi fonologis yang menyebabkan mereka diucapkan sebagai "Dewa" dan "Dewi", yang lebih mudah dan lebih sesuai dengan lidah Jawa.

Namun, jangan salah, di Asia, khususnya di wilayah Nusantara, terdapat beberapa suku yang menggunakan huruf "V" dalam bahasa mereka. Contoh menarik dari keberadaan bunyi "V" ini adalah di Kalimantan, khususnya dalam bahasa yang digunakan oleh suku Uut Danum dan Apo Kayaan.

Suku-suku ini memiliki beberapa kata yang jelas mengandung bunyi "V", dan mereka mengucapkannya dengan sangat mirip dengan cara pengucapan di negara-negara Barat.

Misalnya, dalam bahasa Uut Danum, kata "bavik" berarti perempuan. Dalam kata ini, "v" diucapkan dengan getaran lembut pada pita suara, persis seperti pengucapan "v" dalam bahasa Inggris.

Kata "muvuh," yang berarti pionir, juga menunjukkan pengucapan "v" yang sangat berbeda dengan "f." Lebih lanjut, kata "lovosch," yang berarti meredup, dan "kavusch," yang berarti panu, juga memiliki karakteristik fonetik yang sama, menunjukkan keberadaan dan pentingnya huruf "V" dalam bahasa mereka.

Keunikan ini menandakan bahwa sebenarnya huruf "V" bukanlah sesuatu yang asing dalam konteks fonetik Asia, khususnya Indonesia. Suku-suku Dayak seperti Uut Danum dan Apo Kayaan, dengan keahlian mereka dalam pengucapan yang sangat tepat, menunjukkan bahwa huruf "V" memiliki tempat yang sah dalam keragaman linguistik Indonesia.

Mereka tidak hanya mempertahankan bunyi ini dalam bahasa sehari-hari mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa pengucapan mereka terhadap huruf "V" sama baiknya dengan pengucapan di negara-negara Barat.

Jika kita melihat lebih jauh, keberadaan bunyi "V" dalam bahasa-bahasa suku Dayak ini bisa jadi menunjukkan jejak-jejak sejarah dan interaksi budaya yang sangat tua. Ada kemungkinan bahwa bunyi ini adalah warisan dari interaksi antara nenek moyang mereka dengan pedagang atau penjelajah dari belahan dunia lain yang menggunakan bahasa dengan bunyi "V" yang dominan.

Misalnya, perdagangan maritim kuno yang melibatkan pedagang dari India, Persia, atau bahkan Romawi, bisa jadi menjadi alasan mengapa bunyi ini ada dan tetap lestari di sebagian wilayah Kalimantan.

Lebih lanjut, kemampuan masyarakat Uut Danum dan Apo Kayaan dalam melafalkan "V" juga mengingatkan kita bahwa bahasa tidak pernah statis; ia senantiasa berkembang dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal.

Seiring dengan itu, penting untuk diingat bahwa meskipun ada upaya dari beberapa pihak untuk menyeragamkan bahasa, kita tidak boleh mengabaikan keragaman dan keunikan lokal yang ada. Bahasa adalah refleksi dari masyarakat yang menggunakannya, dan oleh karena itu, ia harus dibiarkan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat tersebut.

Namun, di luar alasan-alasan sejarah dan budaya, keberadaan bunyi "V" ini juga menantang asumsi yang mungkin terlalu simplistis bahwa pengucapan tertentu tidak mungkin ada di Asia, khususnya di Indonesia.

Pandangan ini memperlihatkan kecenderungan untuk meremehkan keragaman linguistik di wilayah ini. Justru dengan mengakui adanya variasi ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya dan bahasa Indonesia, serta lebih terbuka terhadap perbedaan yang ada.

Sementara sebagian besar orang Indonesia mungkin tidak terbiasa atau tidak memiliki kemampuan alami untuk melafalkan huruf "V" dengan tepat, ini tidak berarti bahwa bunyi tersebut harus dihilangkan dari bahasa Indonesia.

Sebaliknya, upaya untuk menghapus huruf "V" hanya akan mengerdilkan khazanah bahasa dan mempersempit ruang bagi bahasa Indonesia untuk berkembang dan beradaptasi dalam konteks global yang semakin terintegrasi.

Apalagi di tengah perkembangan dunia modern yang mengharuskan kita untuk lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan, termasuk dalam hal bahasa.

Sebagai contoh, dalam dunia teknologi dan komunikasi, banyak kata-kata serapan yang mengandung huruf "V". Kata-kata seperti "video", "virtual", "virus", dan "vaccine" adalah bagian dari kosa kata global yang sulit dihindari dalam percakapan sehari-hari, bahkan di Indonesia.

Menghapus huruf "V" dari bahasa Indonesia hanya akan menciptakan kebingungan baru dan menghambat adaptasi bahasa ini dengan istilah-istilah global yang terus berkembang.

Keberadaan huruf "V" dalam bahasa Indonesia, meskipun terbilang jarang digunakan dan mungkin sulit diucapkan oleh sebagian besar orang, memiliki arti penting dalam mencerminkan adaptasi dan pengaruh dari budaya lain.

Ini adalah bagian dari dinamika bahasa yang alami, di mana setiap bahasa di dunia ini terus-menerus berubah, berkembang, dan menyesuaikan diri dengan zaman.

Pada akhirnya, wacana untuk menghapus huruf "V" dari bahasa Indonesia mungkin mencerminkan keinginan untuk menyederhanakan sistem ejaan dan pengucapan. Namun, keputusan seperti ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat bahasa bukanlah sekadar kumpulan huruf dan bunyi.

Bahasa adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, yang memuat cerita tentang perjalanan manusia, interaksi antarbudaya, dan sejarah yang panjang. Huruf "V" mungkin hanyalah sebuah simbol kecil dalam seluruh sistem bahasa, tetapi di balik simbol itu tersimpan cerita panjang tentang keragaman, sejarah, dan identitas.

Menghapusnya berarti menghapus bagian dari cerita tersebut, bagian dari jati diri yang seharusnya kita lestarikan, bukan hilangkan.

Maka, mari kita hargai keberadaan huruf "V" ini, bukan hanya sebagai bagian dari bahasa Indonesia, tetapi juga sebagai bukti nyata bahwa bahasa kita kaya akan pengaruh dan terbuka terhadap perubahan.

Kita dapat merayakan keragaman fonetik ini sebagai cermin dari Indonesia yang multikultural, di mana setiap suku, bahasa, dan dialek memiliki hak untuk diakui, dihormati, dan dipertahankan.

Bahasa Indonesia, seperti halnya bangsa kita, adalah sebuah karya yang selalu dalam proses penciptaan, selalu terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, termasuk kemungkinan untuk memelihara keunikan-keunikan yang ada, sekecil apa pun itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun