Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hujatan Barbar Netizen Indonesia

7 Februari 2024   07:04 Diperbarui: 7 Februari 2024   07:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompasiana.com/justinjoshevano/630b35d9e099ec6542741be2/kesetaraan-gender

Dalam dunia politik, kritik dan hujatan terhadap pemimpin atau partai politik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebagai seorang tokoh politik yang telah lama berkecimpung dalam arena politik Indonesia, Ibu Megawati pun memiliki pendekatan yang bijaksana dalam menanggapi hujatan dan kritik tersebut.

Sikap negarawan Ibu Megawati terhadap hujatan dan kritik yang dialamatkan kepadanya serta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggambarkan sebuah refleksi atas realitas politik yang kompleks.

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa hujatan dan kritik yang ditujukan kepada Ibu Megawati dan PDI-P merupakan bagian dari dinamika politik yang ada di masyarakat. Sebagai tokoh publik, Ibu Megawati menghadapi berbagai spekulasi dan tuduhan yang terkadang tidak berdasar.

Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan pandangan politik, ideologi, atau ketidaksukaan terhadap kebijakan yang diambil oleh PDI-P. Tetapi yang perlu di ingat, hanya PDI-P lah partai yang mencantumkan visi-misinya untuk tetap menegakkan UUD-45, NKRI dan Pancasila secara konsisten.

Namun, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam narasi tersebut, penting untuk membedakan antara hujatan yang berdasarkan fakta dan opini subjektif. Jangan hanya tidak suka karena berbeda partai dan pandangan saja, lalu semua kebijakan PDI-P dan Ibu Megawati tidak disukai.

Tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar atau hal-hal pribadi lainnya bukanlah substansi dari kritik politik yang seharusnya diungkapkan. Kritik yang konstruktif seharusnya difokuskan pada kebijakan, tindakan, dan integritas politik suatu figur atau partai.

Jika presiden merasa tersinggung dengan ucapan ibu Megawati, tidak lah perlu bertindak over dosis. Karena memang terpilih jadi presiden adalah karena figur, tetapi tidak boleh juga lupa akan jasa partai, karena mana mungkin orang maju jadi presiden tanpa partai, karena tidak ada jalur independen.

Jadi kedua pihak harus menahan diri dan tidak bertindak over dosis dan juga harus saling memaafkan. Bukankah manusia tidak ada luput dari kesalahan?

Terkait dengan isu korupsi yang disinggung dalam banyak pembicaraan, penanganan korupsi merupakan persoalan serius di Indonesia. Menekan korupsi memerlukan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR, bapak Presiden, pejabat pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat.

Pendekatan yang tegas terhadap korupsi harus diterapkan tanpa pandang bulu, dengan pembentukan aturan yang jelas dan penegakan hukum yang berani dan adil.

Tidaklah mudah untuk mengubah budaya korupsi yang telah mengakar di tengah masyarakat. Namun, upaya keras dan kesadaran bersama untuk mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam semua lapisan pemerintahan dan politik merupakan langkah awal yang penting.

Salah satu langkah yang perlu diterapkan secara hukum, yaitu minimal ada perpres yang menekankan berapa persen dari proyek yang bisa di ambil oleh pemborongnya. Sehingga secara hukum, siapa pun yang melewati limit terebut, bisa di tangkap dengan tuduhan korupsi.

Hal ini perlu mulai sekarang kita lakukan, karena jujur saja, dari mana sih kader partai mendapatkan uang kekayaan mereka? Jadi pengusaha? Ya, memang banyak yang menjadi pengusaha, tetapi modal awalnya dari uang proyek yang dia kelola juga.

Warisan dari orang tua atau pihak lain? Belum pernah saya dengar ada anggota Dewan itu dapat warisan sehingga mampu membangun dan sangat kaya. Yang pasti, sebagian besar dari pengelolaan proyek, termasuk untuk ongkos beristri banyak juga.

Jika kita mau jujur dalam berpolitik dan bernegara, maka apa yang tertulis di Lukas 3.14, patut menjadi pertimbangan: Jangan merampas jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu." Artinya, segala uang di luar gaji sah dan insentif serta THR sah, itu bukan hak kita.

Beranikah kita berbuat demikian?

Lalu bagaimana dengan proyek Pemerintah? Itu belum ada UU atau Keppres, berapa persentase yang boleh di ambil. Sehingga sangat lucu, ada pihak yang dipenjarakan karena korupsi dana proyek, sementara ada pihak lain yang hidupnya tenang-tenang saja, sementara dia melakukan hal yang sama.

Sehingga penegakan hukumnya yang tebang pilih. Nah, dalam membuat aturan itu, tergantung DPR dan Pemerintah, dalam hal ini bapak Presiden. Beranikah mereka membuatnya? Itu kembali kepada pribadi masing-masing.

Sikap negarawan yang diharapkan dari pemimpin politik, termasuk Ibu Megawati, adalah kesediaan untuk mendengarkan kritik yang konstruktif, bersikap bijaksana dalam menanggapi tuduhan yang tidak berdasar, dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi serta penegakan hukum yang kuat demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kita akui kadang-kadang Ibu Megawati, maaf, terlihat sudah agak pikun. Namun kita maklumi saja, itu karena faktor usia, jadi jangan pula itu kita manfaatkan dan kita besar-besarkan. Karena Ibu Megawati telah menunjukkan sikap sebagai negarawan sejati. Apa sih susahnya dia menunjukkan anaknya, Puan Maharani, sebagai calon presiden? Toh suara PDI-P cukup untuk melakukan itu.

Kita paling tidak memandangnya sebagai orang tua, dan sebagai Masyarakat Timur kita harus menghormati dan menghargainya. Jadi di mana tata krama dan sopan santun kita, dengan berani kita menantang, menghina dan menghujat beliau yang sudah berbuat demikian banyak?

Sementara kita belum berbulat apa-apa, atau hanya berbulat satu tindakan saja yang areanya sangat terbatas, sedangkan ibu Megawati berbuat untuk negara yang luasnya hampir dua juta kilometer dan penduduknya lebih dua ratus juta orang?

Penyiapan Puan Maharani sebagai capres itu sudah lama dia persiapkan, salah satunya dengan baliho 'Kepak Sayap Kemerdekaan' dan pembagian sembako, yang mencadangkan Puan Maharani sebagai calon presiden RI. Tetapi melihat hasil survey dan polling, ibu Megawati tidak memaksakan kehendaknya atau melakukan kemauan pribadinya.

Dia tidak melakukan seperti orang lain, yang memaksa anaknya menjadi penerus kekuasaan politik dengan manuver macam-macam. Tetapi dia memikirkan akar rumput, kecintaannya. Untuk hal yang diperjuangkannya.

Ini menunjukkan sikap negarawan sejati dan sangat matang. Dia lebih cinta rakyat Indonesia, dengan mendengarkan suara rakyat. Maka Ganjar Pranowolah yang diusungnya. Demikian juga dalam menunjukkan wakil, dia bisa saja menunjukkan dari PDI-P, karena toh suaranya cukup. Tetapi tidak dia lakukan, dia mau mengajak partai atau ormas lain untuk berkoalisi.

Perlu diingat, karena Ibu Megawati juga maka ada bisa pemilihan Presiden langsung, karena Ibu Megawati juga bisa ada banyak Partai, karena Ibu Megawati juga maka ada Mahkamah Konstitusi, dan juga karena Ibu Megawati juga ada penghargaan kepada anggota KPU yang diatur secara undang-undang, meskipun sekarang tidak dijalankan oleh Presiden Jokowi, tetapi undang-undangnya belum di cabut.

Ibu Megawati menyarankan sayur untuk di rebus atau di bakar sewaktu minyak goreng naik, maka banyak pihak yang marah. Sebenarnya itu mudah, tidak mau ya jangan diikuti. Begitu saja kok repot. Kan maksudnya untuk kebaikan masyarakat juga, kenyataannya sekarang saja sudah ada anak yang berumur dua puluh tahun yang mengidap penyakit jantung, kolesterol dan gula darah tinggi.

Begitu juga masalah stunting, kenyataannya penduduk Indonesia secara rata-rata terpendek di dunia. Itu harus kita akui. Jadi sarannya agar anak-anak kita itu bisa tinggi, itu memang wajar. Minimal lebih tinggi dari Bapak dan Mamaknya.

Demikian juga dia mengharapkan anak-anaknya tinggi dan ganteng serta punya kerjaan, kan maksudnya untuk kebaikan kita juga. Jangan sampai kita jadi pengangguran dan tidak bisa mengongkosi keluarga. Kalau kita tidak suka, tinggal kita tidak ikuti saja, mengapa harus menyerang Ibu Megawati?

Termasuk juga ibu-ibu yang hobi ngerumpi, itu memang fakta. Kapan mereka  sempat mengurus keluarganya dan anak-anaknya jika waktunya dihabiskan untuk gibah saja?

Yang lebih penting juga, pada masa presiden Ibu Megawati Soekarnoputri lah maka persentase 30% Perempuan ditetapkan dalam keikutsertaannya di legislatif. Memang kebijakan itu sudah di mulai sejak jaman presiden Gus Dur, tetapi presiden Megawati lah yang waktu itu menyetujuinya dan menetapkannya dengan Undang-Undang.

Jika tidak suka dengan Ibu Mega dan PDI-P serta kebijakannya, jadilah orang yang elegan dan bermartabat. Artinya dia tidak Suka karena berbeda partai atau berbeda pandangan, itu lumrah. Tetapi hal-hal yang positif dari kebijakan Ibu Mega dan PDI-P, tetap harus dihormati dan diapresiasi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun