Sebagai fondasi utama dari sebuah pernikahan yang sehat, hubungan antara seorang suami dan istrinya haruslah dibangun di atas dasar cinta yang tulus, pengertian yang dalam, dan kesabaran yang tak terbatas. Dalam konteks ini, penting bagi setiap suami untuk mampu menerima pasangannya dengan segala kekurangan, kelebihan, serta melihat masa lalu mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan pribadi yang mereka cintai.
Seperti perintah bagi orang Kristen pada umumnya atau Kristen Katolik pada khususnya, bahwa mereka menikah itu cuma sekali saja sampai maut memisahkan mereka, tidak ada perceraian. Pasangan harus saling mencintai sampai kematian datang menjemput.
Makanya menikah itu suatu keputusan penting, sehingga harus dipertimbangkan matang-matang sebelum memutuskan untuk menikah. Karena kita akan hidup dengan pilihan kita sampai maut memisahkan kita.
Jadi pernikahan itu bukan sekedar seks atau membuat anak saja atau memperbanyak keturunan, tetapi kebahagian bagi pasangan itu, apakah itu kebahagian mereka berdua atau anak-anak yang mereka lahirkan nantinya.
Istilah yang lebih ekstrim lagi, seperti pepatah dalam bahasa Dayak Dohoi Uut Danum, yaitu "jiring hokotang Tullang", yang artinya sampai sudah menjadi tulang pun harus saling bergendongan. Artinya, sampai matipun tetapi saling menyayangi.
Jadi menikah itu harus bisa sampai menua bersama dan tetap saling menyayangi apapun kondisi tubuh pasangannya dan kalau bisa itu sampai mati, hanya satu itulah pasangannya di dunia ini. Karena di surga nanti mereka tidak menikah lagi atau melampiaskan keinginan liar, tetapi semuanya seperti malaikat yang tidak kawin dan hidup mereka kekal.
Kesadaran akan pentingnya menerima pasangan dengan sepenuh hati menjadi kunci utama dalam menciptakan ikatan yang kuat dan harmonis dalam pernikahan. Setiap individu memiliki keunikannya sendiri, dan seorang suami yang bijaksana akan mampu melihat kekurangan tersebut sebagai pelengkap dalam hubungan mereka. Menerima masa lalu pasangan dengan segala cerita dan perjalanan hidupnya adalah tanda kedewasaan emosional yang memperkuat ikatan dalam hubungan.
Namun, lebih dari sekadar penerimaan, adalah kewajiban moral bagi setiap suami untuk menjaga dan melindungi istrinya. Mengambil tindakan kekerasan atau bahkan berpikir untuk mengakhiri nyawa pasangan merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun.
Kehidupan adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu, dan tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan kekerasan atau mengakhiri hidup seseorang, terlebih lagi dalam hubungan yang seharusnya dipenuhi dengan kasih sayang.
Keberadaan dalam hubungan pernikahan seharusnya memberikan rasa aman, dihormati, dan dicintai bagi kedua belah pihak. Suami haruslah menjadi benteng yang melindungi istrinya dari segala bentuk bahaya, baik fisik maupun emosional. Menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih adalah tanggung jawab bersama dalam sebuah pernikahan yang sehat.
Namun, seringkali dalam hubungan rumah tangga, masalah dan konflik tak terhindarkan. Ketika situasi seperti ini muncul, penting untuk tidak menutup diri dan berpikir bahwa masalah dapat diselesaikan sendiri.
Mengambil langkah untuk mencari bantuan profesional atau dukungan adalah keputusan yang bijaksana. Ini bisa meliputi konseling pernikahan atau mencari nasihat dari individu yang memiliki pengalaman dalam menangani masalah rumah tangga.
Menghadapi masalah dengan kedewasaan dan mencari solusi tanpa kekerasan adalah kunci untuk menjaga keutuhan hubungan. Komunikasi yang baik, pengertian, serta sikap saling menghargai merupakan pondasi yang kuat untuk mengatasi setiap masalah yang timbul dalam hubungan pernikahan.
Dalam kesimpulannya, sebuah hubungan pernikahan yang sehat membutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen yang kuat dari kedua belah pihak. Suami yang mengasihi istrinya dengan tulus akan mampu melihat kelemahan dan kelebihannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari cinta mereka.
Menghormati kehidupan dan menjaga kedamaian dalam hubungan adalah tanggung jawab yang harus dipegang teguh oleh setiap suami, demi menciptakan hubungan yang kokoh dan penuh kebahagiaan bersama dengan pasangan hidupnya.
Kita juga sering mendengar di dalam rumah tangga itu terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), seorang istri dijadikan pasangan latih tinju atau di sebut sebagai sparing partner. Karena suaminya berbicara dengan istrinya tidak dengan mulutnya, tetapi menggunakan kaki dan tangannya.
Sering kita melihat kondisi masyarakat di sekitar kita atau kita melihat postingan atau berita di media masa, seorang istri atau suami yang menghabisi nyawa pasangannya. Kalau memang sudah tidak cocok lagi dan mustahil diperbaiki, mengapa keduanya tidak berpisah saja secara baik-baik? Mengapa harus mengakhirinya dengan perselingkuhan atau kekejaman?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H