Sinar matahari pagi perlahan menyapa kota provinsi yang sejuk. Di tengah keseharian yang biasa-biasa saja, kehidupan kami pun dipenuhi dengan cerita yang tak terduga. Hari itu, adik iparku turun ke kota provinsi dalam rangka mengurus rumahnya yang terletak di kredit almarhumah istrinya di Bank BTN.
Kepergiannya dilandasi oleh kabar duka yang mendalam, karena sang istri yang seorang Pegawai Negeri Sipil baru saja meninggalkan dunia ini.
Berangkatnya adik ipar membuat kedua anak mereka menjadi tanggung jawab kami, karena dia titipkan dengan kami. Perjalanannya menembus harak sekitar 400 kilometer dengan jalan seperti bekas perang dunia ke II, sungguh berat dan memerlukan waktu tempuh sekitar 12 jam.
Sungguh, kami dengan tulus mengasuh dan menjaga mereka seperti anak sendiri. Kehangatan keluarga menjadi pijakan kuat dalam mengarungi hari-hari yang berlalu. Meskipun adik ipar kami mengalami kesedihan yang begitu mendalam, kami berusaha menjadi sumber dukungan yang kuat baginya.
Hari-hari terus berjalan, dan ketika menjelang senja, aku memutuskan untuk menjala ikan Nila di kolam, guna memenuhi kebutuhan sayur untuk keluarga kami. Kolam itu memancarkan ketenangan, membiaskan bayangan pohon-pohon yang berderet rapi di sekitarnya.
Seperti biasa air kolam kadang beriak oleh ikan yang berenang, menjadi cermin bagi harapanku yang tidak putus asa, bahwa kehidupan akan terus mengalir dengan damai. Angin berhembus, matahari bersinar, bunyi jangkrik dan ayam berkokok mengisi hari-hariku.
Namun, kejadian tak terduga mewarnai makan malam kami. Istri ku yang tersayang kurang cermat membersihkan ikan yang kami jala. Mungkin karena usia yang sudah tergolong senja, dia tak lagi memiliki ketajaman penglihatan seperti dulu. Tanpa disadari, beberapa tulang ikan itu terlepas dari cengkeramannya dan tertusuk dalam-dalam ke dalam gusiku.
Rasa sakit yang menusuk gusi menyapa setiap kali makanan bersentuhan dengan tulang itu. Aku mencoba mengeluarkannya, tapi ternyata tulang itu sudah terbenam begitu dalam sehingga tak bisa dengan mudah ditarik.
Dua minggu berlalu dengan rasa nyeri yang tak terelakkan setiap kali aku menikmati hidangan. Tulang ikan itu menjadi penjara yang tak terlihat, membatasi kegembiraanku dalam menikmati hidangan lezat.
Namun, pagi itu terjadi perubahan kecil yang memberikan harapan. Saat aku bangun dari tidur, ku rasakan tulang itu sedikit agak keluar. Terbersit rasa semangat di hati, aku memutuskan untuk menghadapi perjuangan terakhir ini.
Berulang kali, ratusan kali, aku berusaha menarik ujung tulang itu. Akhirnya, dengan penuh kelegaan, dia terjepit di ujung jari. Ternyata, tulangnya lebih besar dan lebih panjang dari yang aku duga.
Dalam senyuman lega, aku menyadari bahwa perjuangan panjang telah berakhir. Gigi-gigiku kembali merasakan kenikmatan makan, bebas dari tulang yang menyiksa selama dua minggu terakhir.
Sebuah kelegaan yang tak terhingga melingkupi hatiku, seperti mengembalikan harapan dalam ketidakpastian kehidupan.
Momen ini mengajarkan kami sebuah pelajaran berharga, bahwa dalam kehidupan, terkadang kita harus menghadapi tantangan yang sulit, tetapi dengan kesabaran dan tekad yang kuat, kita mampu melewati segala rintangan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H