Hujan lebat membasahi tanah, menyisakan bau segar dan harum semerbak mewangi di udara. Tepat di tengah-tengah sebuah hutan lebat, sebuah kelompok kecil berkumpul di dalam kegelapan malam. Mereka memandang mayat yang mereka pikul dengan wajah penuh ketakutan.
"Kita harus segera menguburkannya," bisik seorang pria paruh baya dengan suara gemetar.
"Benar. Semakin lama kita menunggu, semakin aneh dan mencekam suasana di sini," sahut seorang wanita dengan suara serak.
Tiba-tiba, bau busuk yang mengerikan melingkupi mereka. Semua orang menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan keinginan untuk muntah. Mereka saling pandang, mempertanyakan apa yang terjadi.
"Tidak mungkin ini hanya bau alami," ucap seorang pemuda yang penuh keberanian.
Pada saat yang sama, hujan semakin deras. Jatuhnya tetesan air menyebabkan perjalanan menuju kuburan yang terletak sekitar 4 kilometer jauhnya menjadi semakin gelap gulita. Langkah-langkah mereka terdengar seperti desisan di antara pohon-pohon yang tinggi.
Kelompok itu membentuk barisan, berjalan pelan-pelan melalui kegelapan. Namun, tidak lama kemudian, beberapa di antara mereka tersesat. Suara mereka yang memanggil-manggil menjadi samar-samar, tersapu oleh angin yang kian memburu.
"Mana mereka? Di mana saudara-saudara kita?" teriak seorang wanita dengan putus asa.
Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik hujan yang semakin menggema di antara pepohonan. Kegelapan malam memakan mereka yang tersesat, menyelimuti mereka dengan ketakutan dan keputusasaan.
Hutan yang gelap dan sunyi menjadi saksi bisu dari perjalanan kelompok kecil yang memikul peti mati tersebut. Setiap langkah mereka diiringi dengan gemericik hujan yang semakin reda.
Namun, tiba-tiba peti mati yang terbuat dari kayu tembesu itu berguncang dengan sendirinya, seolah-olah memiliki kehidupan tersendiri. Mereka terkejut, hampir saja membiarkannya jatuh, tetapi dengan cepat mereka menahan dan menyeimbangkan pikulan mereka.