Waktu sudah menunjukan pukul 11.00 siang, ketika isteri saya yang sedang memasak sayur opor ayam kesukaan anak-anak, memanggil saya yang pada saat itu sedang sibuk mengetik sebuah up date Bab baru dari Novel saya yang sudah terbit online.
Saya bertanya ada apa, dari tempat saya bekerja. Yang jaraknya dari dapur hanya sekitar sepuluh meter saja. Gas habis, jawab isteri saya. Padahal masakannya lagi tanggung sekali. Sayapun hanya menarik nafas panjang, karena itu artinya saya harus segera membeli gas ke pasar.
Sayapun lalu men-save pekerjaan saya dan mematikan komputer, setelah itu melepaskan gas dari regulatornya dan membawanya ke arah pasar yang jaraknya hanya sekitar 500 meter saja dari rumah saya dengan mengendarai sepeda motor butut saya yang sudah terbatuk-batuk ketika di bawa menanjak.
Sewaktu menanyakan harganya saya terkejut sekali, sampai saya harus mengulanginya sebanyak dua kali. Saya takut pendengaran saya yang salah, karena harga gas melon 3 kg itu 'hanya' Rp. 20.000 saja per tabungnya.Â
Saya memang pantas terkejut, karena selama ini di daerah kami harga pertabung gas melon itu berkisar antara 28 ribu sampai 45 ribu rupiah. Itu pun terkadang sangat sulit untuk mendapatkannya, karena sangat langka.
Sementara kalau untuk membeli yang 12 kg, harganya berkisar Rp. 185.000-Rp.195.000 pertabungnya. Memang kalau dibandingkan dengan harga yang 3 kg itu tidaklah jauh berbeda sebenarnya, tetapi persoalannya bukan itu. sudah beberapa kali kami mengujinya, paling lama yang 12 kg itu hanya mampu di pakai selama 3 minggu saja. Sementara yang 3 kg ini selalu satu minggu, bahkan terkadang lebih. Lalu apanya yang salah dengan yang 12 kg itu? Seharusnya tahan minimal untuk 4 minggu, kan?
Lalu kembali ke persoalan harga gas yang murah tadi, saya tidak tahu apa yang membuatnya bisa semurah itu, sehingga saya iseng bertanya, "kok murah?"
"Sekarang banyak, Pak. Ndak kaya dulu, berapapapun kita minta, tetap di kasik." Jelas penjaga toko langganan saya yang sekaligus juga sebagai pemiliknya itu.
"Kok bisa?" tanya saya penasaran.
"Entalahlah, pak." Katanya tidak bisa menjelaskan penyebab harga murahnya itu.
Tetapi apa pun itu alasannya, sebenarnya tidak terlalu krusial bagi saya. Bagi kami masyarakat kecil ini, adalah harganya yang murah dan tidak kesulitan dalam mendapatkannya. Itulah yang paling penting.
Karena selama ini untuk menyiasati harga gas yang mahal dan kelangkaannya di pasaran, maka dalam memasak kami selingi dengan menggunakan kayu api, sehingga panci dan kuali yang dulu begitu tampan karena putih mengkilat keperakan, sekarang sudah hitam legam seperti bekas gunung berapi.
Lalu gejala apakah ini? Apakah ada kaitannya dengan Ahok yang menjadi komisaris utama Pertamina atau karena bergantinya Kapolri dengan yang baru? Sebab selama ini banyak issue miring yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan yang beredar luas di masyarakat. Entahlah. Tetapi apapun itu, bagi masyarakat di bawah, yang penting adalah harga gas melon yang murah dan tidak ada kelangkaan di pasaran.
Semoga saja hal ini bisa berlangsung selamanya atau paling tidak sampai kami rakyat kecil ini mampu membelinya tanpa perduli berapapun harganya (Maaf, pembaca. Khusus untuk alinea terakhir ini, kami lagi bermimpi indah).
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H