Antusias masyarakat untuk menjadi kepala desa akhir-akhir ini sangatlah besar, hal ini disebabkan oleh beberapa kepentingan. Yang pertama adalah keinginan membangun desa dan menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kemajuan desa.Â
Meskipun hal ini sepertinya agak absurd, tetapi kebanyakan visi dan misi seseorang yang maju sebagai calon kepala desa adalah pengabdian terhadap desa. Apakah memang dia mempunyai jiwa pengabdian seperti itu atau hanya sebagai kamuflase agar dipilih, hanya yang bersangkutan yang tahu.
Yang kedua adalah karena kurangnya lapangan kerja di Indonesia, maka menjadi kepala desa adalah salah satu solusi paling tidak untuk selama 6 tahun, yaitu satu periode masa jabatan kepala desa. Setelah menjabat, apakah maju kembali sebagai kepala desa atau beralih ke pekerjaan lain itu dipikirkan nantilah.
Yang ketiga adalah dengan menjadi kepala desa, maka akan mengelola dana desa yang lumayan besar, yang pada tahun 2020 ini saja sudah berjumlah Rp. 960 juta per tahun untuk satu desa. Sehingga untuk 74.954 buah desa di Indonesia pemerintah menggelotorkan dana sebesar 72 triliun rupiah untuk tahun 2020 ini.
Dengan begitu besarnya dana desa ini, maka desas-desus terhadap pengelolaannya yang dipenuhi KKN juga berseliweran di masyarakat. Yang paling gencar mendapatkan tuduhan korupsi itu tentu saja kepala desanya, karena dia punya kewenangan yang lebih besar dalam hal pengelolaannya, meskipun dalam mengelola dana desa ini sudah jelas panduannya seperti yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKB). Jadi sistem pengeluaran keuangan tentulah harus melalui mekanisme tertentu.
Tetapi pertanyaan yang tetap menggelitik adalah apakah memang ada korupsi terhadap dana desa itu? Menurut hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar (sumber).
Dengan melihat pemaparan itu, maka memang nyata ada terjadinya korupsi terhadap dana desa itu. Tetapi hal ini adalah berdasarkan yang terungkap dan mempunyai alat bukti. Kalau yang tidak terungkapkan karena tidak mempunyai alat bukti, maka belum dianggap sebagai tindakan korupsi dan itu potensinya justru lebih besar lagi.
Selain itu juga, jika kita amati dengan lebih saksama apa yang terjadi di dalam kantor desa, maka kita bisa lebih terkejut lagi. Sebab ternyata para pegawainya rata-rata mempunyai hubungan kekeluargaam.Â
Sehingga kemungkinan terjadinya KKN itu sangat besar, karena tentu saja mereka akan saling melindungi dalam hal pengelolaan keuangan desa. Juga kalau kita melihat pola hidup mereka, ada yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah elite, ada yang mampu membeli mobil yang mempunyai rentang harga diatas 200-an juta, ada yang mampu mendirikan rumah dengan harga diatas 200-an juta.
Ada yang mampu mengisi rumahnya dengan produk-produk berkualitas dengan harga yang berharga jutaan. Tetapi hal ini harus dibuktikan oleh aparat penegak hukum dengan alat bukti yang tak bisa dielakan.
Memang banyak kepala desa yang membantah jika mobil mahal dan rumah mewahnya itu bukan karena dia menjadi kepala desa sehingga dia mampu membelinya. Tetapi pertanyaannya adalah mengapa dia mampu membeli semuanya itu setelah duduk menjadi kepala desa, bukan sebelum dia menjadi kepala desa.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, maka aparat penegak hukum harus bekerja lebih keras lagi untuk mengamankan uang negara di tingkat desa, agar uang itu betul-betul digunakan untuk kemajuan dan kemakmuran desa, sehingga dengan sendirinya Indonesia akan maju, karena pembangunan dari desa itu adalah juga kunci pembangunan untuk seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H