Â
Kain lelong yang berarti kain bekas ini sangat terkenal di Indonesia, sebut saja misalnya penjualannya di Kalimantan Barat, bertebaran dari ibukota provinsi sampai jauh masuk ke desa-desa di pedalaman. Hal yang sama juga terjadi diseluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang lainnya. Para pembelinya dari masyarakat pejalan kaki sampai yang naik mobil Mercy.
Hal ini dikarenakan harganya yang sangat murah dan sangat terjangkau, sehingga bisa dibeli oleh setiap kalangan. Namun meskipun bekas dan murah, kalau pandai memilih dan beruntung pembeli masih bisa mendapatkan barang berkualitas baik yang kondisinya masih sangat bagus maupun yang berasal dari produk asli dan bermerek seperti Levi’s, Zara, Marks & Spencer, Next, Gap, H&M, dan Esprit yang masih bisa dipakai sampai bertahun-tahun jika pandai merawatnya.
Tetapi meskipun harganya murah dan sangat diburu oleh masyarakat Indonesia, kain lelong tidak boleh di impor dan dijual di Indonesia, karena melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
di Pasal 8 ayat (2) UUPK, dijelaskan secara terperinci bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Suatu aturan yang sebenarnya sangat lucu, karena masyarakat seluruh Indonesia ini sudah tahu pasti jika kain lelong itu adalah barang bekas, yang artinya pasti ada yang cacat dan rusak. Jadi tidak perlu lagi harus dijelaskan secara panjang lebar. Di lain pihak juga, masyarakat sudah siap dengan semua resiko tersebut, karena hanya itulah yang terjangkau oleh kantongnya.
Sementara kalau kain lelong itu dituduh mengandung banyak bibit penyakit dan membahayakan kesehatan masyarakat, rasanya lebih mustahil lagi. Sungguh suatu kebijakan yang tidak konsisten, karena merujuk kepada pernyataan Kemenkes yang jelas dilansir Kompas.com, mengatakan bahwa pakaian dan makanan impor bukan media penyebar Virus Corona. (https://sains.kompas.com/read/2020/01/28/070948123/).
Virus Corona saja yang penyebarannya masif dan sangat mematikan itu tidak menyebar melalui kain, apalagi penyakit lainnya. sejauh ini belum pernah ada laporan mengenai masyarakat yang menderita sesuatu penyakit berbahaya seperti virus atau apalah namanya yang terbawa oleh pakaian bekas itu. Sehingga dikhawatirkan aturan ini bisa saja menguntungkan salah satu pihak dan merugikan bagi masyarakat.
Yang juga perlu dicermati adalah, di satu pihak pemerintah melarang untuk mengimpor dan menjual pakaian bekas, tetapi di pihak lain malah melegalkan impor sampah dengan mengeluarkan  Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya.
Sehingga penulis menyarankan kepada Pemerintah terutama Kementerian terkait, sebaiknya melegalkan saja impor dan penjualan pakaian bekas ini. Karena aktifitas ini bukanlah semata-mata kebutuhan akan pakaian bekas, tetapi juga berkait dengan factor usaha masyarakat. Dengan adanya usaha impor dan penjualan lelong ini, maka membuka usaha masyarakat yang akan menyerap tenaga kerja yang lumayan banyak. Selain itu juga membuat usaha lain menggeliat, seperti transportasi, sewa angkutan dan usaha pemotongan kaki celana yang membutuhkan tenaga kerja juga.
Pemerintah juga bisa untung dengan memungut pajak impor, sehingga ada pemasukan untuk negara. Tetapi dengan main tangkap seperti ini, maka betapa banyaknya korban, seperti terjadinya kehilangan tulang punggung keluarga karena suami dipenjara, kurangnya order terhadap angkutan karena tidak ada pengiriman barang lelong, tidak adanya usaha pemotongan kaki celana karena pakaian lelongnya tidak ada, dan lain-lainnya.
Jikalaulah hal ini merugikan industry garmen didalam negeri, maka pemerintah harus meneliti dan memperbaiki beberapa hal yang terkait dengan lingkaran industri garmen dalam negeri itu. Misalnya mengapa harganya sangat tinggi, mengapa tidak bisa bersaing dengan negara tetangga, apakah produsen memang menetapkan harganya tertalu tinggi, ataukah ongkos produksinya terlalu mahal, apakah gaji karyawannya terlalu besar, atau ada hal-hal non teknis lainnya yang menjadi penyebab mahalnya harga produk garmen di Indonesia.