Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

New Normal di Korea Selatan Gagal, Bagaimana dengan Rencana Indonesia?

30 Mei 2020   09:55 Diperbarui: 9 Juni 2020   20:42 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200531065048-4-162061/new-normal-korsel-mungkin-gagal-kasus-covid-19-naik-tajam

Khusus untuk anak-anak yang sama sekali tidak terjangkau internet atau blank spot atau sangat jauh dari lingkungan desa seperti di pelosok-pelosok, maka bisa saja materi pelajaran itu diambil sebulan sekali atau sekali dalam satu semester , lalu diantar kembali dalam sebulan berikutnya atau satu semester sekali. Juga perlu dipertimbangkan, tarif internet itu harusnya diturunkan. Karena meskipun menurut ulasan dari data website cermati.com diklaim bahwa biaya internet di Indonesia itu termasuk termurah di dunia, tetapi bagi kantong kebanyakan masyarakat Indonesia termasuk penulis, sangatlah mahal. Belum leletnya lagi, tidak sesuai janji.

Yang ketiga, pemerintah harus aktif dalam upaya mencari obat-obatan yang berdasarkan bahan herbal asli Indonesia ataupun penelitian vaksin untuk mengatasi pandemi ini. Paling tidak herbal itu untuk menguatkan tubuh dan system imun masyarakat, yang harus dibagikan secara gratis untuk rakyat Indonesia yang secara ekonomi tidak mampu.

Yang keempat, sebaiknya Pemerintah meng-update kembali data masyarakat yang pantas menerima bantuan. Karena data yang sekarang ini dikhawatirkan tidak akurat. Sebab banyak orang yang seharusnya perlu bantuan tetapi nyatanya tidak menerimanya. Sementara ada klaim yang mengatakan bahwa masyarakat yang seharusnya mampu, tetapi malah mendapatkan bantuan. Mohon di data kembali, mulai dari tingkat Rukun Tetangga, disampaikan ke Desa dan barulah ke Kabupaten, yang dari Kabupaten di upload ke Pemerintah pusat.

Persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial juga, janganlah terlalu menjelimet. Pastikan saja masyarakat itu terdampak Covid-19 dan tidak ada usaha untuk makan. Jangan melihat rumahnya, jangan melihat sekolahnya, jangan melihat tampang tubuhnya, jangan melihat tampan atau buruk wajahnya. 

Karena katanya ada persyaratan, rumahnya harus lantai papan, dinding papan. Padahal ada orang yang punya rumah berlantai dan berdinding papan, tetapi punya mobil dan ada tabungan miliaran. Sebaliknya ada orang yang rumahnya terbuat dari semen, tetapi karena usahanya mati terdampak Covid-19, dia tidak bisa makan selain mengharapkan bantuan tetangganya saja. Di mana mana juga kita melihat banyak berita tentang penganiayaan terhadap oknum desa oleh anggota masyarakat, karena di tuduh tidak adil dalam memberikan bantuan sosial. Itu artinya semuanya bermula dari data yang tidak valid. Sekali lagi, data yang tidak valid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun