Aku belajar di samping ibuku yang membuat tempe. Ketika ada PR yang aku tidak bisa kerjakan, aku bertanya kepada ibuku. Walaupun sambil bekarja, ibuku tetap bisa mendampingiku dalam belajar. Aku merasa nyaman belajar di samping ibuku. Walaupun disambi, aku tetap bisa belajar dengan baik. Dengan penerangan dan tempat seadanya, aku tetap bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah atau belajar mempersiapkan ujian.
Nampak berat ayahku membiayai sekolahku. Hal ini sangat nampak dari uang SPPku yang selalu nunggak. Bahkan beberapa kali raporku tidak bisa diambil karena masih ada tunggakan SPP. “ Kamu tidak usah memikirkan biaya sekolah, biar ayah saja.” Itu kata-kata ayahku setiap aku bertanya tentang SPP.
Sering aku tidak bisa menjawab ketika ditanya teman berapa rangkingku. Aku juga tidak bisa menjawab berapa nilai mata pelajaran matematika atau IPAnya, karena raporku masih tersimpan rapi di sekolah. Kadang-kadang rasa sedih muncul ketika ditanya tentang rapor.
Namun, lama-lama aku mengerti dan sadar bahwa ayahku sangat kesulitan untuk membiayai sekolahku. Aku pun mulai mengerti bahwa dibalik kata-kata itu, ayahku ingin mengatakan bahwa aku harus giat belajar. Aku tidak boleh sekolah sambil bekerja untuk membantu membiayai sekolah. Aku paham maksud ayahku bahwa aku harus fokus dalam belajar.
Sudah menjadi langganan, raporku diambil saat kenaikan kelas saja. Itu pun karena diberi pinjaman oleh pemilik sawah yang memberi pekerjaan ayahku sebagai buruh cangkul. Hutang itu dibayar selama setahun dengan jasa mencangkukan tanah sawah tetangga.
Apalagi saat aku sekolah dibangku SLTA, sejak kelas I sampai kelas III aku tidak pernah melihat raporku. Saat acara kelulusan aku juga tidak bisa ikut, karena memang belum lunas SPP. Aku bisa melihat rapor kelas I hingga kelas III dan ijazah setelah ayahku kembali meminjam uang untuk melunasi SPP.
Sejak TK sampai SLTA aku disekolahkan di sekolah swasta. Sungguh berat kedua orang tuaku yang hanya sebagai buruh cangkul dan penjual tempe harus menghidupi lima orang anak dan memmbiayai sekolah.
Meskipun ada juga sekolah yang rela memutihkan tunggakan SPP, karena merasa kasihan. Namun beban dipundak kedua orang tuaku tetap saja berat. Walaupun demikian, orang tuaku ingin aku tetap sekolah di swasta biar pendidikan agama dan kedisiplinanku terasah dengan baik. Itu pedapat orang tuaku.
Kini aku telah menjadi guru. Guru, memang bukan cita-citaku saat aku masih kecil. Pada awal bulan mengikuti pendidikan sekolah guru, memang terasa berat karena yang aku jalani bertentangan dengan bayangan yang telah lama dicita-citakan. Mungkin karena terbiasa hidup dalam kondisi berkekurangan, membuat aku mampu cepat menyesuaikan diri. Rasa nyaman dan kerasan menempuh Pendidikan di sekolah itu cepat aku dapatkan.
Sebagai guru sekolah dasar, boleh dikatakan cukup untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak. Kehidupanku sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan orang tuaku. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari sudah jauh lebih aku rasakan dibanding orang tuaku.
Menjadi guru merupakan impian ibuku. Keinginan ini terlontar dari mulut ibuku saat aku membantu ibuku membungkus tempe. Entah dari mana atau terinspirasi dari siapa, ditengah asyik membungkus kedelai yang akan dibuat tempe itu, ibuku berkata, “ Besok kalau lulus SMP kamu melanjutkan ke sekolah guru saja, ya, biar cepat bekerja.” Saat itu memang aku tidak langsung menjawab.