Sungguh absurd. PBB, sebuah lembaga yang konon dibentuk untuk melindungi masyarakat internasional, justru menjadi salah satu pelindung dari kejahatan trans-nasional, dengan berlindung pada dogma ‘kekebalan diplomatik'. Bahkan yang lebih absurd lagi, ternyata, sebagian ‘pasukan penjaga perdamaian' PBB di Bosnia itu statusnya adalah pegawai dari sebuah perusahaan keamanan swasta bernama DynCorp (di film, disamarkan dengan nama lain).
Jika ditelaah lebih lanjut, dalam berbagai situasi konflik, ternyata ada perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private military company/PMC) yang meraup untung raksasa. Mereka menandatangani kontrak dengan PBB, pemerintahan negara-negara Barat, atau siapa saja yang punya uang, untuk menyediakan ‘tenaga keamanan'.  Menurut buku Corporate Warriors: The Rise of the Privatized Military Industry, dewasa ini PMC beroperasi setidaknya di 50 negara di dunia.
Hukum internasional pun ternyata tidak berdaya dalam menghadapi situasi ini. Status hukum PMC masih abu-abu dan menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum internasional. Bahkan, Mahkamah Internasional belum mencantumkan PMC sebagai subyek hukum (artinya, PMC belum bisa dituntut ke Mahkamah Internasional). Karena itulah, meski terganjal oleh kasus yang dibongkar oleh Kathryn, DynCorp hari ini tetap melenggang. Pemerintah AS pada tahun 2005 meneken kontrak jutaan dollar dengan DynCorp untuk proyek ‘penjaga perdamaian' di Irak. Tugas mereka adalah merekrut 1000 ‘ahli keamanan sipil' untuk diterbangkan ke Irak. Di sana, pasukan DynCorp akan ‘membantu' warga lokal dalam menangani keamanan.
Belum ada whistleblower dari Irak yang membongkar apakah DynCorp juga melakukan perdagangan manusia di sana (atau di negara-negara lain tempat DynCorp dan perusahaan perusahaan sejenis beroperasi), namun berbagai laporan menyebutkan bahwa human trafficking juga terjadi di Irak.
Kembali ke pidato Rahbar. Uraian di atas setidaknya bisa menjadi bukti bahwa pandangan yang salah terhadap perempuan memang menjadi sumber tragedi kemanusiaan. Ketika perempuan dianggap sebagai properti yang bisa dijualbelikan, perlindungan terhadap mereka pun dilakukan setengah-setengah dan hanya demi memenuhi tuntutan publik. Kasus sex trafficking di Bosnia hanya diperdulikan setelah ada yang berani membongkar, padahal orang dalam PBB  sudah tahu ada kasus tersebut (bahkan ikut menikmatinya). Mereka terus mencari justifikasi untuk melindungi bisnis milyaran dollar ini. Seperti justifikasi yang dikatakan pejabat PBB itu, "Gadis-gadis itu adalah pelacur dalam (situasi) perang. Itu (biasa) terjadi."[]
*penulis adalah alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (IRIB Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H