Namun, lain halnya dengan fan-girls yang merasa cukup dengan hanya memandangi wajah idola mereka di layar smartphone sambil berimajenasi dan berhalusinasi ria, mengandaikan sang idola menjadi kekasih dan secara tiba-tiba muncul dari layar smartphone atau poster yang menempel di dinding kamar merupakan kebahagian tersendiri.
Ada banyak faktor yang mengantarkan para remaja perempuan-tak jarang dewasa untuk menjadi seorang fangirl, salah satunya adalah kebahagiaan yang tidak dapat ditemukan di kehidupan nyata. Selain menjadi individualis, orang-orang yang hidup di era modern juga menjelma menjadi manusia tanpa telinga, tanpa mata, tanpa mulut dan tanpa tangan. Yang artinya mereka menjadi enggan untuk memberikan bantuan sebatas mendengarkan ataupun memberi solusi untuk orang yang sedang berada di titik terendah dan membutuhkan bantuan atau dorongan secara moril maupun materiil.
Fan-girl mungkin bisa menjadi seseorang yang benar-benar hedonis karena rela menabung dan menghabiskan uang demi dapat memborong benda-benda yang berhubungan dengan idola mereka yang harganya terbilang mahal, melebihi uang saku/jajan bulanan. Sebab mahalnya biaya fangirling tersebutlah, akhirnya hanya sedikit dari sekian juta fangirls di seluruh dunia yang mampu memenuhi hasrat mereka untuk mengoleksi barang-barang berbau idola mereka. Sisanya hanya cukup mengandalkan kuota internet dan Wi-Fi untuk menciptakan kebahagiaan imajenatif dengan rajin streaming dan ngepoin kegiatan sang idol di aplikasi tertentu termasuk social media.
Meskipun semu dan tak dapat dijumpai di dunia nyata, kebahagiaan tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuat para fangirl senyum-senyum hingga tertawa terbahak-bahak sambil berjoget ria tanpa ada seorang pun yang mampu memahaminya.
Para fangirl tahu betul bahwa fangirling akan selamanya fangirling, yang artinya tidak akan terjadi di dunia nyata (selain menonton konser, menghadiri fanmeeting dan fansign). Namun, mereka juga menyadari sepenuhnya bahwa fangirling adalah salah satu cara sederhana (namun sangat membekas) untuk bersenang-senang dan mampu mengembalikan mood mereka tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam seperti kaum hedonis yang sesungguhnya.
Karena Siapapun Patut Bahagia
Pada akhirnya berbahagia adalah keputusan, dan jalan untuk meraihnya adalah pilihan yang setiap orang pastilah memiliki cara berbeda-beda. Mau apapun bentuk bahagianya dan bagaimanapun cara mewujudkannya, tentu tidak boleh menggunakan cara egois yang tidak memperdulikan imbas terhadap orang lain.
Bisa jadi, cara kamu nongkrong cantik di caf dan berlama-lama di sana sambil berhaha-hihi membuat pengunjung lain yang sedang membutuhkan ketenangan untuk menyelesaikan tugas/pekerjaan merasa terganggu. Yang pasti, siapapun kamu dan berapapun penghasilan/uang jajanmu, kamu adalah seseorang yang patut bahagia, karena bahagia tidak melulu soal harta dan tahta. Namun tentang hati yang senantiasa menerima dan berbaik sangka.
REFERENSI
Eka Sari Setianingsih. 2018. Wabah Gaya Hidup Hedonisme Mengancam Moral Anak. Jurnal MALIH PEDDAS. 8(2).139-149.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H