Banyak orang berpendapat bahwa Negara berkembang biasanya banyak kegiatan korupsi. Menurut laporan Lembaga Transparency International (TI) merilis data indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index, CPI) untuk tahun 2015. CPI Indonesia naik peringkat 2 poin dengan score 36. Dalam laporan tersebut, ada 168 negara yang diamati lembaga tersebut dengan ketentuan semakin besar skor yang didapat, maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi.Â
Skor maksimal adalah 100. Negara di peringkat teratas adalah Denmark, Finlandia, Swedia, Selandia Baru, Belanda, dan Norwegia. Sedangkan negara dengan peringkat terbawah adalah Sudan Selatan, Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia Adapun Indonesia menempati peringkat ke 88 dengan skor CPI 36. Skor tersebut meningkat dua poin dari tahun 2014 yang berada di peringkat ke 107. (Tempo, 27 Jan 2016) Menurut Ilham Saenong ( Direktur Program Transparency International Indonesia), peringkat pada negara-negara tersebut merupakan gambaran terhadap daya tahan dan upaya pemerintah masing-masing beserta masyarakatnya dalam menekan korupsi. Skor rata-rata tahun ini adalah 43. Artinya skor Indonesia masih di bawah rata-rata skor persepsi dunia.Â
Di Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand Walaupun CPI ini masih berdasarkan persepsi dan bukan nilai absolute nyatanya dilapangan bisa ditemukan lebih banyak lagi yang melakukan korupsi yang dilakukan terselubung. Kenapa orang Indonesia masih banyak melakukan korupsi? ada tujuh faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara:
A. Faktor Kebutuhan: Seseorang terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi karena ingin memiliki sesuatu, namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan yang diinginkan tersebut. "Biasanya dorongan korupsi dari faktor kebutuhan ini dilakukan oleh orang-orang bersentuhan langsung dengan pengelolaan keuangan,
B. Faktor Tekanan: Biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang kerabat atau atasan yang tidak bisa dihindari. Faktor tekanan ini bisa dilakukan oleh pengelola keuangan, bisa juga oleh pejabat tertinggi di lingkungan instansi pemerintah,
C. Faktor Kesempatan: Biasanya dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya diri. Meskipun cara untuk mendapatkan kekayaan tersebut melanggar undang-undang yang berlaku.
D. Faktor Rasionalisai: Biasanya dilakukan oleh pejabat tertinggi seperti bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota atau gubernur di tingkat provinsi. "Pajabat yang melakukan korupsi ini merasa bahwa kalau dia memiliki rumah mewah atau mobil mewah, orang lain akan menganggapnya rasional atau wajar karena dia adalah bupati atau gubernur.
E. Faktor Lingkungan: Biasanya dilingkungan yang sekelilingnya korupsi, maka orang tersebut akan ikut terlibat korupsi.
F. Faktor Penegakan hukum yang lemah: Lemahnya dan tidak tegasnya penegakan hukum merupakan faktor berkembangnya tindakan korupsi. Penegakan hukum yang lemah ini dapat menghindarkan para pelaku korupsi dari sanksi-sanksi hukum.
G. Faktor Iman yang lemah : Sebagai Negara beragama, maka iman yang lemah juga merupakan faktor mudah melakukan korupsi, karena menganggap Tuhan tidak nyata dan tidak melihat.
Kembali ke Judul diatas, ternyata faktor-faktor korupsi juga berlaku dalam cara berkendara atau berlalu lintas. Lihatlah begitu banyak orang melanggar lalu lintas, dimana penyebab orang berlalu lintas hampir sama dengan penyebab orang melakukan korupsi: