Peradaban manusia telah berubah, landscape kehidupan global, regional maupun nasional berubah. Semua negara di dunia wajib melakukan transformasi terhadap tata kelola pemerintahan yang makin profesional, cepat, efektif, adaptif untuk menjawab kebutuhan masyarakat.Â
Khususnya, Indonesia yang tumbuh dalam era demokratisasi, juga memasuki era digitalisasi dan virtualisasi, serta memiliki proyeksi menjadi the big five state in the world, sebagaimana visi indonesia madani 2045.Â
Maka reformasi birokrasi sebagai arus utama pendorong gelombang revolusi tata kelola pemerintahan bukan lagi hanya untuk mengontrol jalannya birokrasi dan menghadirkan pelayanan.Â
Namun juga mengubah paradigma para administrator publik untuk "bukan lagi mendayung, tetapi mengemudi, menetapkan arah dan tujuan serta memetakan jalan bagi perahu pemerintahan" yang menempatkan masyarakat sebagai aspek terdepan dan prioritas. Dan memposisikan pemerintah sebagai representasi publik, serta membangun institusi publik yang berintegritas, responsif melayani dan aktif memberdayakan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengaturan dan implementasi berbagai kebijakan publik di tingkat pusat maupun daerah.Â
Dua peneliti dari Arizone State University, Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, mengungkap bahwa salah satu agenda reformasi yang dijalankan Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya, adalah dengan menguatkan hubungan antara institusi publik dengan pelanggannya (masyarakatnya) sebagai "mekanisme transaksi pasar yang melahirkan suatu komoditas kepentingan bersama".Â
Inilah yang kemudian mereka lakukan untuk mendorong privatisasi fungsi publik dan menjaga tercapainya tujuan kinerja pemerintah, membangkitkan efisiensi dan produktivitas, menghidupkan komitmen dan akuntabilitas mesin-mesin kelembagaan negara.Â
Konsep ini, secara gradual semakin berkembang dan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan di Indonesia melalui penerapan open government--pemerintahan yang terbuka.Â
Besarnya keinginan publik untuk terlibat langsung dalam pemerintahan bahkan dalam perumusan kebijakan publik, harus disalurkan dan diartikulasikan pada satu titik pertemuan yaitu "triangulasi kepentingan" antara negara/pemerintah, sektor privat dan masyarakat. Bukan untuk semata menemukan solusi bagi salah satu pihak saja, tetapi membangun kolektivitas dan kebersamaan, tanggung jawab, serta proses kolaboratif yang mempertemukan antara harapan dan kebijakan publik.Â
Mal Pelayanan Publik
Inilah framework yang mendorong lahirnya generasi pelayanan publik terpadu di Indonesia. generasi pertamanya bernama pelayanan terpadu satu atap (PTSA), lalu generasi kedua bernama pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), lalu mal pelayanan publik adalah generasi ketiga.Â
Inspirasi mal pelayanan publik terinspirasi dari public service hall (PSH) Georgia dan Asan Xidmat Azerbaijan, yang keduanya sudah menandatangani MoU kerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) dalam rangka penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber daya manusia aparatur.Â
Dalam PSH Georgia terdapat 12 layanan kementerian/lembaga yang terintegrasi, khususnya bagi kemudahan berusaha, mulai dari pendaftaran usaha, inhouse notary sampai perolehan hak atas tanah dan urusan pengesahan pernikahan.
Lalu, di Axan Xidmat (diartikan pelayanan mudah) di Azerbaijan, adalah lembaga pelayanan publik yang juga antara memadukan pelayanan dari pemerintah dan swasta untuk kepentingan bisnis.Â
Mempelajari hal itu, lalu disesuaikan dalam konteks indonesia, Kemenpan RB menghadirkan Mal Pelayanan Publik (MPP) Indonesia, yang lebih progresif memadukan pelayanan dari pemerintah pusat, daerah dan swasta dalam satu tempat. Bahkan menyatukan pelayanan publik lintas kewenangan yang pada umumnya sulit dilakukan karena struktur birokrasi di Indonesia yang sangat besar.
Mengapa sulit, karena ada ruang pemisah antara kewenangan sentralisasi di pusat dan desentralisasi di daerah yang harus dihubungkan, ada kecabangan antara peran pemerintahan dan legislatif yang harus diseimbangkan, serta menguatnya harapan publik dalam demokrasi yang harus dijembatani pemerintah. Namun semua kendala dapat didobrak demi menyatukan pelayanan kepada publik.
Walaupun sifatnya masih modeling (artinya belum ada minimal requirement, pola pelayanan dan tipologi yang ajeg), namun MPP memberikan alternatif kemudahan pelayanan yang mengakomodasi kearifan lokal.Â
Kehadiran Mal Pelayanan Publik, juga tidak mendegradasi generasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), justru ini keistimewaannya  MPP dapat memayungi PTSP tanpa pula mematikan pelayanan yang sudah ada sebelumnya. Sebab PTSP di daerah sebenarnya sudah berjalan baik (melalui kerangka 7 regulasi PP nomor 18/ 2016 tentang perangkat daerah).Â
Namun, ada kendala yang perlu disempurnakan, antara lain sebagian besar perizinan bergantung pada dinas teknisnya sehingga terjadi kelambatan proses; beberapa pemda belum mengikat perizinan dengan sertifikasi ISO sehingga ada celah tidak terkontrol dan tidak transparan sehingga menjadi temuan lembaga pengawasan.Â
Oleh karena itu, Kemenpan RB mendorong penuh upaya penyederhanaan perizinan melalui satu sistem aplikasi yang terintegrasi yang juga bernama -- one single submission tersebut, dan juga memang sejalan dengan pembangunan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government) sebagaimana perpres nomor 95/ 2018.Â
Hingga sekarang, tahapannya masih pada identifikasi terhadap bentuk proses bisnis dan tata kelola data lintas instansi yang mengintegrasikan karakter format dan definisi data yang berbeda; integrasi layanan dan interoperabilitas data yang membutuhkan rekayasa aplikasi ulang; serta pembentukan arsitektur spbe untuk menyamakan cara pandang bagi integrasi pelayanan publik.Â
Berdasarkan evaluasi, pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, juga semakin berlomba untuk membangun Mal Pelayanan Publik, sehingga saya patut menyampaikan apresiasi yang setingginya kepada seluruh pihak yang telah mendukung terbangunnya Mal Pelayanan Publik, termasuk di kota padang.Â
Tentu, hal ini menjadi penyemangat bagi Kemenpan RB, untuk berupaya menguatkan kerangka regulasi MPP menjadi Perpres, sehingga landasannya semakin kokoh dan dapat menjadi grand strategi peningkatan kualitas pelayanan publik nasional hingga ke seluruh penjuru wilayah Indonesia.
Mal Pelayanan Publik sebagai the new public service adalah jawaban bagi harapan publik tentang kemudahan perijinan, kecepatan pelayanan dan akhirnya mendorong kemudahan berusaha, meningkatkan pertumbuhan industri mikro maupun ekonomi makro. Melalui MPP, pola pikir yang ego sektoral antar instansi diubah menjadi kerja bersama yang berfokus pada komitmen melayani masyarakat.
Bahkan, MPP mampu menjadi inkubator bagi tumbuhnya pelayanan pemerintah yang 9 mengadopsi teknologi, serta menjadi wahana leadership yang melahirkan para ASN teladan berjiwa hospitality.Â
MPP menjadi media untuk membangun sistem kerja dan sinergi yang utuh, mempraktikkan perubahan budaya kerja yang melayani, panggung untuk menampilkan wajah birokrasi yang mengadopsi the new public service, sehingga benar-benar merepresentasikan kehadiran negara untuk memberikan manfaat luas bagi kepentingan dan kemakmuran masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H