Inspirasi mal pelayanan publik terinspirasi dari public service hall (PSH) Georgia dan Asan Xidmat Azerbaijan, yang keduanya sudah menandatangani MoU kerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) dalam rangka penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber daya manusia aparatur.Â
Dalam PSH Georgia terdapat 12 layanan kementerian/lembaga yang terintegrasi, khususnya bagi kemudahan berusaha, mulai dari pendaftaran usaha, inhouse notary sampai perolehan hak atas tanah dan urusan pengesahan pernikahan.
Lalu, di Axan Xidmat (diartikan pelayanan mudah) di Azerbaijan, adalah lembaga pelayanan publik yang juga antara memadukan pelayanan dari pemerintah dan swasta untuk kepentingan bisnis.Â
Mempelajari hal itu, lalu disesuaikan dalam konteks indonesia, Kemenpan RB menghadirkan Mal Pelayanan Publik (MPP) Indonesia, yang lebih progresif memadukan pelayanan dari pemerintah pusat, daerah dan swasta dalam satu tempat. Bahkan menyatukan pelayanan publik lintas kewenangan yang pada umumnya sulit dilakukan karena struktur birokrasi di Indonesia yang sangat besar.
Mengapa sulit, karena ada ruang pemisah antara kewenangan sentralisasi di pusat dan desentralisasi di daerah yang harus dihubungkan, ada kecabangan antara peran pemerintahan dan legislatif yang harus diseimbangkan, serta menguatnya harapan publik dalam demokrasi yang harus dijembatani pemerintah. Namun semua kendala dapat didobrak demi menyatukan pelayanan kepada publik.
Walaupun sifatnya masih modeling (artinya belum ada minimal requirement, pola pelayanan dan tipologi yang ajeg), namun MPP memberikan alternatif kemudahan pelayanan yang mengakomodasi kearifan lokal.Â
Kehadiran Mal Pelayanan Publik, juga tidak mendegradasi generasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), justru ini keistimewaannya  MPP dapat memayungi PTSP tanpa pula mematikan pelayanan yang sudah ada sebelumnya. Sebab PTSP di daerah sebenarnya sudah berjalan baik (melalui kerangka 7 regulasi PP nomor 18/ 2016 tentang perangkat daerah).Â
Namun, ada kendala yang perlu disempurnakan, antara lain sebagian besar perizinan bergantung pada dinas teknisnya sehingga terjadi kelambatan proses; beberapa pemda belum mengikat perizinan dengan sertifikasi ISO sehingga ada celah tidak terkontrol dan tidak transparan sehingga menjadi temuan lembaga pengawasan.Â
Oleh karena itu, Kemenpan RB mendorong penuh upaya penyederhanaan perizinan melalui satu sistem aplikasi yang terintegrasi yang juga bernama -- one single submission tersebut, dan juga memang sejalan dengan pembangunan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government) sebagaimana perpres nomor 95/ 2018.Â