Salah satu aspek kekuatan pertanian di Indonesia adalah pemberdayaan petani. Aspek ini menjadi penting dimana pemerintah menginginkan tercapainya swasembada beras, jagung dan kedelai pada tahun 2017.
Sebagai langkah kongkrit sebenarnya sejak tahun 2008. Sejak era kepemimpinan Presiden SBY sudah dimulai sebuah program usaha agribisnis perdesaan (PUAP) . Program pemberdayaan yang digagas sejak tahun 2008 ini telah menyalurkan dana lebih dari Rp 5,2 Trilyun ke 52.186 desa diseluruh Indonesia. Setiap desa mendapatkan dana pengembangan senilai Rp 100 juta.
Sejak diluncurkan delapan tahun yang lalu, PUAP memang mengalami perkembangan . Dana pengembangan memang ditujukan untuk para petani . Bisa digunakan sebagai modal kerja, maupun modal pengembangan pasca produksi. Sebagai sarana menaikkan taraf hidup petani.
Penyalurannya dilakukan secara berkelompok dalam wadah Gapoktan atau gabungan kelompok tani. Setiap anggota gapoktan bisa menggunakan dana pengembangan untuk keperluan pertanian atau bidang pasca usaha pengolahan. Dalam pedoman umum (pedum) PUAP, selama tiga tahun dana sebesar Rp 100 juta diharapkan bisa berkembang dan gapoktan bisa menumbuhkan lembaga keuangan mikro agribisnis (LKMA) .
Konsolidasi Kewenangan Pusat di Daerah
Sejak bergulir program PUAP memang mengalami kendala dilapangan. Wadah gapoktan yang menjadi pusat penumbuhan seringkali mengalami kesulitan. Kadang berefek kemacetan dana pengembangan karena sebagian petani menganggapnya sebagai dana bantuan langsung yang boleh dihabiskan tanpa perlu dikembalikan ke pengurus Gapoktan untuk digulirkan kembali ke anggota petani yang lain.
Namun , tak semua gapoktan gagal mengembangkan dana. Sebagian gapoktan malah berhasil mengembangkan dana Rp 100 juta dan sukses menumbuhkan LKMA. Dana pengembangan terus bergulir dan dapat memberikan manfaat kepada banyak anggota petani.
Harus diakui program PUAP yang di-inisasi pemerintah pusat melalui Dirjen PSP kerap kali tak mendapat respon yang baik di pemerintahan daerah. Apalagi beban pengembangan PUAP dipandang sebelah mata. Setelah dana diterima gapoktan, pendampingan dinas pertanian di pemerintah kota/kabupataen hingga provinsi seperti kurang maksimal. Walau harus diakui beberapa pemerintah daerah memiliki kepedulian yang lebih baik, namun secara keseluruhan PUAP seperti anak “pungut” yang tak dirawat dengan semestinya oleh pemerintah daerah.
Simpul masalah yang diterjadi dilapangan, konsolidasi pusat terhadap daerah untuk mengembangkan PUAP tidak berjalan efektif. Dilihat dari tidak adanya evaluasi PUAP yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota. Tak adanya dukungan terhadap pendamping PUAP yang biasa disebut penyelia mitra tani (PMT).
Sinergitas pusat dan daerah untuk program PUAP terlihat loyo dan terkesan tak berdaya. Sepanjang tahun pengembangan PUAP hanya mengandalkan kekuatan PMT yang memang disiapkan dan dilatih pemerintah pusat di Pusat Pendidikan Pertanian di Ciawi Bogor.
PMT memang memiliki keterbatasan karena ruang lingkup yang dimilikinya cenderung lemah karena tak memiliki kewenangan yang kuat. Dengan geografi yang luas dan wilayah binaan yang jauh, seorang PMT harus menempuh perjalanan yang panjang untuk melakukan pembinaan kepada para petani. Dengan honor yang tidaklah besar , PMT menjalankan pembinaan menyusuri pedalaman yang kadang harus dilalui dengan menginap dirumah petani binaan.
Dihentikannya PMT dinilai Mematikan Penumbuhan Lembaga Keuangan Agribisnis
Sayangnya, kementrian pertanian tak lagi menginginkan PMT mendampingi program PUAP. Dengan dalih memindahkan pembinaan PMT ke pemerintah daerah, mulai bulan Juli hingga Agustus Kementan meminta pemerintah daerah mengambil alih program PUAP.
Boleh dibilang langkah kementan ini terburu buru dan kurang perhitungan. Kementan belum menginformasikan PUAP secara jelas dan tegas kepada pemerintah daerah. Tranfer tenaga harian lepas (THL) PMT yang selama ini dianggarkan pemerintah pusat akan dihentikan dan meminta pemerintah daerah melanjutkan. Pertanyaannya : apakah pemerintah daerah mau menganggarkan APBDnya untuk PMT ? sebuah pertanyaan yang harus diklarifikasi oleh Kementan terlebih dahulu.
Setidaknya, Kementan bisa melakukan kajian yang lengkap dimana pemerintah pusat harus memberikan waktu persiapan yang cukup bagi pemerintah daerah meneruskan program. Ada masa transisi yang cukup agar pemerintah daerah bisa menjalankan program PUAP yang dilanjutkan dengan program penumbuhan LKMA.
Walau bila dilihat secara khusus, program penumbuhan LKMA harusnya tetap dilakukan pemerintah pusat. Melihat dari jangkauan dan efektifitas anggaran yang dimiliki pemerintah pusat. PMT yang saat ini berjumlah tak kurang dari 1.400 orang.
BIla ditilik dari sisi payung hukum dimana amanat Undang Undang Nomor 1 tahun 2013 dan juga Undang Undang nomor 25 tahun 1992. Termasuk bila melihat rencana strategis (renstra) Kementrian Pertanian yang salah satunya menumbuh kembangkan LKMA diperdesaan sebagai jejaring lembaga pembiayaan formal serta mendorong berdirinya Bank Pertanian sebagai sumber pembiayaan kegiatan pertanian dari hulu hingga hilir.
Reaksi PMT atas keputusan Kementan
Kehadiran PMT yang selama ini berada di garda terdepan dalam pembinaan program PUAP memang sentral dan strategis. Penumbuhan LKMA yang kini terus berkembang juga atas usaha keras PMT dilapangan .
Sayangnya, kehadiran PMT nampaknya tak banyak mendapat apresiasi Kementan. PMT sunyi dari pemberitaan, bahkan tidak seperti saudaranya THL Penyuluh pertanian yang mendapat banyak kesempatan dan lebih mendapat perhatian.
PMT nyaris berada di ruang sepi dari perhatian. Tak ada penghargaan PMT terbaik, tak ada dukungan yang layak dari pemerintah daerah. Namun selama itu PMT tak banyak reaksi. Selain hanya diam dan terus bekerja.
Namun , saat PMT mulai benar benar ditinggalkan. Di minta menyerahkan “diri” kepada pemerintah daerah yang selama ini juga tak memberi respon positif. PMT secara nasional mulai melakukan komunikasi secara intens .
Maka pada Kamis (18/8) , beberapa perwakilan PMT dari beberapa provinsi berinisiatif mendatangi Komisi IV di gedung DPR RI dan mendatangi Dirjen PSP Kementan di wilayah Ragunan untuk menanyakan nasib PMT selanjutnya. walaupun hingga tulisan ini diposting belum ada tanggapan positif dari Komisi IV maupun Kementan sendiri.
Rasanya setelah berjuang dan menjalankan program penumbuhan LKMA , PMT harus “disingkirkan” dari upaya mulia mengangkat derajat dan taraf hidup petani Indonesia. Kementan boleh saja mengambil keputusan menghentikan program PUAP dan penumbuhan LKMA namun harus bijak terhadap nasib 1.400 orang yang selama ini telah berjuang dilapangan.
Pengetatan anggaran yang akan dilakukan pemerintah pusat sejatinya tidak mengorbankan nasib kehidupan 1.400 orang PMT , tenaga harian lepas yang menjadi tulang punggung pengembangan modal kerja para petani dalam lingkup LKMA.
Bisa jadi reaksi yang akan dilakukan PMT bisa lebih besar dan massif untuk memperjuangkan “priuk nasi” yang selama ini menjadi sumber mata pencarian. Ingat, ada anak istri PMT dirumah yang masih membutuhkan kelangsungan hidup.
#Lanjutkan PMT
#savePMT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H