Bertahun-tahun, luka di tubuhku, tak pernah kuperlihatkan pada siang.
Saat malam kutengadah ke bulan, memanggil embun bersihkan darah yang terus keluar.
Begitulah ketika setiap kali belati itu menusuk tubuhku.
Malam demi malam, siang demi siang. Kulewati seraya terus berhitung, bilakah waktunya.
Saat jiwaku masih kuat, aku masih yakin, waktu adalah penawar terbaik untuk luka ini.
Tapi sekarang.
Jiwa itu telah remuk, tubuh ringkih ini tak lagi kuasa berdiri menatap matahari.
Dulu sekali, engkau adalah pelangi. Awan yang sejuk.
Takdirku membawamu turun dan bertahta di pinggir lautan.
Ombak setiap saat datang menguji. Tapi kita saling menguatkan.Â
Benar, kau tak berubah karang. Tapi, lambat laun, menjadi belati yang setiap saat menikam.
Kini, tubuhku yang terluka hanya bisa mengutuk takdir, seperti inikah keadilan Tuhan?
Mungkin iya, sejarah telah salah mengantarku pada masa depan yang bimbang;
Antara, mengejar mutiara dan kembali pulang mengubur harapan.
Keduanya adalah jalan menuju kegelapan.Â
Sumenep, 3 Pebruari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H