Mohon tunggu...
Minhaji Ahmad
Minhaji Ahmad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa

Aktif di Koloman Ilmu, malam Rabu-an.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Sang Kanjeng

11 Desember 2014   10:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lazimnya, putra mahkota dipersiapkan untuk meneruskan tahta kerajaan. Dalam sebuah cerita pewayangan, Duryudana anak tertua raja Destrarestra adalah pewaris kerajaan Hastinapura. Sebagai keturunan raja, Duryudana mempunyai jaminan kultur-tradisi untuk menjadi penerus amanat kuasa kerajaan. Tidak perlu menjadi paling kuat, sekuat kakeknya Bisma. Tidak pula harus sehebat karibnya Karna, putra Kunti yang “dibuang” kemudian diasuh kusir Adirata. Duryudana tinggal meminta, kemudian restu pasti dia terima.

Tetapi inilah jebakan dinasti. Kenyamanan sering melupakan hak, melalaikan kewajiban. Kurawa seratus bersaudara, tampil arogan, angkara murka, haus kekuasaan dan segala sifat rakus-culas. Hak bangsa tergadaikan. Mental korup untuk kuasa tanpa batas melekat dalam diri putra Destrarestra. Bagi Duryudana, tidak perlu memaksakan teori John Locke berbagi kekuasaan. Sebab Hastinapura adalah kuasanya dan milik Ayahnya, Destrarestra secara absolut. Bahkan, ketika Widura, paman Kurawa-Pandawa menggagas konsep membagi kekuasaan Hastinapura-Indraprasastra untuk merajut konsolidasi keduanya. Akibat monopoli penguasaan sistem yang tidak adil, Duryudana memaksa Pandawa, saudara sepupunya melepas istana kerajaan Indraprasastra dan hidup menepi di hutan, melalui permainan dadu yang tidak fair dan transparan. Itulah tahta, subur dengan ambisi, tipudaya, tidak kenal saudara.

Bukankah setiap cerita berkorelasi, memberi gambaran akibat dari setiap perilaku kuasa yang melewati kepantasan. Ya, Dinasti 'Kanjeng' dari Bangkalan Madura yang dikenal kuat dan kokoh harus tertunduk-takluk dihadapan kebenaran hukum. Setelah sang penguasa KH. Fuad Amin Imron, menyerah dalam operasi tangkap tangan (OTT). Inilah fakta, ketika KPK meniup terompet “medan Bharatayuda” berarti perang melawan korupsi tidak boleh ditunda lagi. Jika selama ini kuasanya mendapatkan legitimasi “kebenaran” khas gelar keturunan. Bukan berarti menganggap setiap perilaku benar-sempurna. Jika nilai terbentuk dari asumsi masalalu yang sakral, bukan berarti kita toleran terhadap pengabaian fakta kebenaran. Apa yang membedakan cerita pewayangan ini dengan dinasti yang dibentuk melalui moral sejarah masa lampau yang panjang? Jelas adalah nama, pelaku dan peristiwanya tidak sama. Tapi, satu kesimpulan bahwa kekuasaan cenderung korup. Dan setiap perilaku kekuasaan yang korup pasti segera berakhir. Bagaimana kelanjutan cerita putra mahkota pewaris tahta dinasti ‘Sang Kanjeng’. Wallahu’alam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun