Kondisi ekonomi yang serba kekurangan tersebut menjadi pemicu pertengkaran suami-istri.
Di usia anak mereka yang masih bayi, si ibu terpaksa mencari penghasilan sampingan untuk membantu ekonomi keluarga. Yang bisa dilakukan adalah menjadi buruh cuci pakaian di rumah-rumah warga Tionghoa yang kebanyakan tinggal di Kota Tebing Tinggi.
Selain menjadi buruh cuci, biasanya ibu-ibu muda itu kerja sebagai pembantu rumah tangga harian (pergi pagi pulang sore), penjaga toko, atau pekerja lepas di industri rumah tangga yang ada di sekitar rumah mereka.
Soal gaji, rata-rata untuk buruh cuci sebulan mendapatkan Rp 300-500 ribu. Sedangkan pembantu rumah tangga antara Rp 700-800 ribu sebulan. Sementara pekerja lepas di industri rumah tangga paling besar sepekannya mendapat upah Rp 175 ribu.
Patut menjadi catatan, pengetahuan warga tentang keluarga berencana (KB), khususnya penggunaan alat kontrasepsi pasca-punya anak cukup memadai. Ini terbukti dengan jumlah anak yang dimiliki keluarga muda di sana rata-rata satu atau dua orang saja.
Puber Lanjutan Picu Perceraian
Tantangan rumah tangga yang dihadapi ayah-ibu muda tidak hanya masalah ekonomi. Karena mereka menikah muda, ada masalah lain yang kerap menimbulkan pertengkaran pasangan tersebut yakni pergaulan anak muda.
Lazimnya anak-anak baru gede (ABG), kebanyakan papa-papa muda (pamud) dan mama-mama muda (mamud) itu masih suka berkumpul dan kongkow-kongkow bersama teman-temannya. Dari pergaulan yang begini, ternyata membuat kehidupan rumah tangga mereka rentan perselingkuhan.
Jiwa dan semangat muda mereka menimbulkan puber lanjutan. Menikah di usia sangat muda, yang seharusnya masih diisi dengan ‘pacaran sana-sini’ , ternyata tidak sepenuhnya bisa menahan gejolak untuk mengenal lawan jenis lebih dari satu. Alhasil, perselingkuhanpun terjadi yang berakhir dengan pertengkeran dan perceraian.
Terbukti, di blok rumah orangtua saya yang dihuni sekitar 15 kepala keluarga, Â ada enam Mamud yang sudah menjadi janda. Keenamnya bercerai karena latar belakang perselingkuhan.
Pasca-terjadi perceraian, yang paling sengsara memang anak-anak mereka. Beberapa anak terpaksa diurus kakek dan nenek mereka. Ada pula anak-anak yang dibebankan kepada si ibu muda. Semua pengurusan anak korban broken home sangat tergantung kesepakatan diantara keluarga mereka.