Memulai syuting pertamanya pada 30 Maret 1950, Darah dan Doa bercerita tentang sosok Kapten Sudarto dalam memimpin perjalanan panjang Divisi Siliwangi RI untuk kembali ke pangkalannya di Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil. Perjalanan ini diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.
Tak hanya berisi adegan pertempuran antara Divisi Siliwangi RI dengan tentara Belanda, Darah dan Doa juga menceritakan sosok Kapten Sudarto yang seringkali khilaf sebagaimana manusia pada umumnya. Dimana ia sebagai seorang tentara dan pria beristri yang seharusnya dapat menjaga integritas dan martabat, namun tak dapat menahan diri untuk jatuh cinta dan terlibat hubungan dengan dua wanita berbeda; seorang gadis keturunan Jerman dan seorang suster bernama Widya.
Karena tak juga sadar akan kesalahannya, kelakuan buruk Sudarto bahkan membawanya berakhir di penjara.Â
Mengingat bahwa film ini dirilis pada tahun 50an, namun konflik yang ditawarkan Darah dan Doa nyatanya masih cukup relevan hingga saat ini. Lihat saja bagaimana menjamurnya drama atau film yang mengangkat tentang kisah perselingkuhan.Â
Penggambaran karakter dalam Darah dan Doa juga terbilang kuat dengan akting dan dialog natural. Seperti Sudarto yang digambarkan sebagai seorang pria flamboyan nan manis, Komandan Adam sebagai sahabat bijak namun tetap profesional, dan Widya yang lembut namun tegas.Â
Darah dan Doa mengajarkan kita akan pentingnya menjaga sikap, martabat dan juga mengendalikan diri.
Sesi akhir acara diisi oleh diskusi film Darah dan Doa bersama pihak keluarga Usmar Ismail yaitu Bapak Nureddin ismail (anak) dan Bapak Badai Saelan (cucu) dan foto bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H