Mohon tunggu...
Rusydi Hikmawan
Rusydi Hikmawan Mohon Tunggu... -

Igauan guru sekolah dasar di kabupaten Lombok Timur, NTB.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berahi Pagi

29 April 2011   05:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi Sabtu terasa beku. Dingin di sekolah ini merasuk kalbu, merangsek menusuk ruang-ruang belajar berdinding debu, menjalar sampai titik-titik syaraf tubuh. Kaku. Suhu di sini memang selalu begitu. Dingin. Dekat hutan-hutan, gunung dan bukit nempel di sisi kiri dinding sekolah. Terasa sejuk.


Di sini bukan puncak Bogor, terasa dingin karena sekolah dekat pula dengan puncak Sembalun dan Gunung Rinjani, bertaman hutan Lemor. Seratus meter dari sini sedang dibangun kebun raya Lombok. Jadi walau berlantai debu, selalu terlihat asri. Tak percaya? Ke sini saja.


Beberapa kali pagi ditemani kabut tipis, melintas para pelipis, menutupi kelam tadi malam. Murid-murid hanya diam. Mereka duduk terpaku di dinding dingin sekolah, para guru awas memandangi tapak kaki murid yang telanjang. Jalan berdebu di depan sekolah pun dibuatnya putih bersih. Sepi. Tak ada yang melitas cepat. Saat kabut merayap, semua terlihat bergerak pelan, tanpa daya tanpa beban.


Ruang belajar ditemani kabut, meja dan bangku diusap lembut kabut pagi. Sepuluh menit berlalu, kabut menipis pun berlalu. Semua terlihat cerah, matahari gagah memberi berahi.


Sayang, kabut berlalu tak beriringan dengan para koruptor, pengemplang bantuan operasional sekolah. Semua terlihat jelas. Tapi siapa kuasa? Tahta berbicara. Guru tidak tetap tak berdaya, komite sekolah hanya diam seribu bahasa. Beberapa guru diam bahagia karena selalu dapat bagian dua juta. Lah murid? Baju olah raga saja tak punya.


Inspektorat pernah datang memeriksa, tapi kanapa terlihat abai dengan derita murid-murid miskin. Katanya, "yang jelas sudah ada bukti pembelian." Padahal barang-barangnya tak nyata, hanya kertas-kertas kecil berbicara.


Pertanggungjawaban tertutup, diketahui pengelola saja, tak pelak menjadi racun pelemah dewan guru lalu mati kutu. Laporan sebatas formalitas di atas kertas, melibas batas dedikasi, inspektorat menggadai dedikasi pada sekolah pabrik korup, pro guru korup bebas lepas. Siapa yang tahu benar salah, saat kebenaran dibungkam dalam-dalam, kita hanya diam dalam kelam. Apa mau dikata. Inilah lingkar-lingkar penguasa, berahi pagi membuatnya langgeng berkuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun