“Al, makan dulu Al, sudah matang nih!” seru Santi kepada Ali yang masih berada di kamar.
Perutnya yang sudah lapar dari tadi, membuatnya langsung menyantap satu mangkuk besar kwetiau miliknya tanpa menunggu Ali. Dan sampai habis satu mangkuk kwetiau itu, Ali tidak juga datang ke meja makan.
“Ini orang kok dipanggilin nggak nyaut nyaut dari tadi, tidur apa gimana?” tanya Santi pada dirinya sendiri.
Lantas Santi membawakan satu mangkuk kwetiau untuk Ali itu ke dalam kamar. “Kamu aku panggil daritadi kok enggak jawab-jawab, nih dimakan,” katanya sambil memberikan semangkuk kwetiau kepada Ali. Namun Ali hanya terdiam sambil menangis.
“Lah, kenapa kamu nangis? tanya Santi bingung.
Dia melihat ke arah Mono yang dipikirnya sedang tertidur lelap. Dia hanya terdiam sambil melihat tubuh suaminya yang terbujur kaku dengan wajah pucat pasi. Tangannya gemetar, dia jatuh terduduk dan semangkuk kwetiau itu berserakan di lantai. Ali segera bangkit dari tempat duduknya dan berusaha menenangkan adik iparnya. Sadar suaminya telah mati, Santi menangis begitu hebat sambil berteriak memanggil-manggi suaminya.
Beberapa saat kemudian, tangisan itu berubah menjadi suara tawa yang menakutkan. Dilihatnya Santi sedang tertawa cekikikan sambil mengusap air matanya. Ali terkejut dan bingung. Dia tahu bahwa banyak orang menjadi gila karena ditinggal mati orang yang mereka cintai. Tapi, apa mungkin Santi bisa gila secepat ini, ucapnya dalam hati.
“Aku bebas! Aku bebas! sudah lama aku ingin dia mati!” teriak Santi sambil terus tertawa cekikikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H