Mohon tunggu...
Hasim Adnan
Hasim Adnan Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membongkar Muslihat Elit Eks. PNPM dan Pentingnya Literasi Politik

19 Mei 2016   10:46 Diperbarui: 19 Mei 2016   11:01 4638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain politik adu domba, ada strategi politik lain yang dilakukan oleh segelintir elit Eks. PNPM Perdesaan yang belum sempat penulis kemukakan di atas. Strategi politik yang penulis maksud adalah mengorbankan anak buah demi kepentingan pribadi dan keamanan jabatannya. Hal ini perlu penulis kemukakan karena ketika para elit Eks. PNPM mengintimidasi jaringan PNPM di bawahnya untuk tidak mengikuti seleksi rekrutmen pendamping desa yang dilakukan Kemendesa secara transparan, mereka malah melakukan lobi-lobi agar nama mereka aman dan lolos otomatis menjadi pendamping desa. Wah, kalau ini benar adanya, maka istilah yang patut disematkan tidak lagi “Boa Edan, Wa?” melainkan edan beneran.

Nah, politik korbankan anak buah ini secara umum tidak banyak disadari di kalangan para fasilitator Eks. PNPM lainnya yang selama ini dengan mudah diorganisasi dengan tujuan seolah-olah memperjuangkan nasib mereka. Sentimen dan gerakan antipati terhadap Kemendesa tetap digalakan dengan menyebar opini bahwa Kemendesa ingin menghabisi pendamping desa “berpengalaman” (tanda kutip sengaja penulis gunakan) dengan cara menolak mengikuti seleksi rekrutmen terbuka dan menuntut agar mereka lolos otomatis. Padahal, logika yang mereka gunakan sangat mudah untuk dipatahkan, yaitu cukup dengan merujuk pada UU Desa yang memang tidak lagi menjadi payung hukum bagi keberadaan fasilitator Eks. PNPM Perdesaan.

Ingin ditegaskan di sini bahwa opini yang menuduh Kemendesa ingin menghabisi pendamping desa “berpengalaman” sebagaimana diteriakan elit Eks. PNPM Perdesaan sama saja seperti pepatah yang mengatakan, “Lempar Batu Sembunyi Tangan”. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya segelintir elit Eks. PNPM lah yang tengah menghabisi kalangan mereka sendiri dengan mengintimidasi mereka yang hendak mengikuti seleksi rekrutmen pendamping desa. Belum lagi bila dibenturkan pada kenyataan bahwa tanpa Kemendesa pun, program PNPM memang sudah habis kontrak.

Melek Politik

Salah satu dosa warisan Orde Baru adalah pemberlakuan kebijakan floating mass (masa mengambang) yang dimulai sejak September 1971 dengan melarang aktivitas (partai) politik di tingkat desa, kecuali Golkar dan ABRI, membuat pertumbuhan demokrasi di tingkat desa mati suri. Kebijakan ini berdampak pada rendahnya tingkat literasi (kemelekan) politik rakyat di tingkat akar rumput.

Sejatinya era reformasi memampukan publik untuk kembali menghidupkan semangat berpolitik yang sehat sebagai ikhtiar dalam rangka penguatan peran politik warga negara yang selama Orde Baru dikebiri. Namun, sejarah membuktikan momentum keterbukaan dan kebebasan politik dibajak oleh segelintir elit yang masih menguasai dan menentukan tegak tidaknya pilar-pilar demokrasi. Hal ini yang kemudian membuat proses transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi kerap terhambat. Bahkan, bagi sebagian kalangan menilai bahwa era reformasi lebih tepat disebut sebagai era democrazy, kegilaan yang didemonstrasikan di depan publik tanpa ada rasa (malu, simpati, empati dll).

Secara sarkastis Yasraf Amir Piliang (2003) mengistilahkan fenomena democrazy tersebut dengan transpolitik untuk menjabarkan sebuah kondisi politik yang sudah terkontaminasi oleh berbagai entitas lainnya yang bukan merupakan jagat, alam, prinsip, atau dunia politik. Pemandangan ini kemudian mengguratkan garis lintas politik yang berbaur dengan entitas di luar dirinya yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan jaringan yang saling berkelindan. Positif tidaknya jaringan tersebut sangat bergantung pada motif di balik entitas-entitas yang berinteraksi dan berhubungan di dalamnya.

Nah, di sinilah pentingnya rakyat Indonesia memiliki tingkat literasi politik yang tinggi. Menjadi tidak heran jika seorang penyair Jerman, Bertolt Brecht, pernah berkata, “Buta yang terburuk adalah BUTA POLITIK. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada KEPUTUSAN POLITIK”.

Terakhir, penulis sekadar mengajak kepada siapapun untuk secara cermat menilai bahwa gerakan para elit Eks. PNPM yang selalu meminta Kemendesa untuk tidak mempolitisasi program Pendamping Desa itu sebagai muslihat dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai pendamping desa dengan tetap mempertahankan embel Eks. PNPM. Kalau tidak percaya, coba aja tanya langsung kepada yang bersangkutan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun