Mohon tunggu...
Hasim Adnan
Hasim Adnan Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sekali Lagi tentang Pendamping Desa

14 Mei 2016   15:24 Diperbarui: 14 Mei 2016   15:38 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali Lagi tentang Pendamping Desa

Oleh Hasim Adnan

Penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menuturkan pengalaman penulis manakala mulai melakukan kerja-kerja pendampingan di tingkat akar rumput. Saat itu, ketika era reformasi bergulir, kran kebebasan politik mulia terbuka lebar. Akses ekonomi  yang sebelumnya dikuasai segelintir orang (bac: elit) mulai mendapat celah untuk digugat rakyat.

Salah satu dosa warisan Orde Baru adalah banyaknya petani tuna kisma (tidak memiliki lahan) yang membuat jurang antara si miskin dan si kaya semakin menganga.   Sambil merujuk hasil sensus pada tahun 1973, Gunawan Wiradi mengemukakan bahwa 60% petani di Jawa masuk ke dalam kategori usaha tani di bawah 0,5 hektar, dengan rata-rata 0,25 hektar. Bahkan di daerah-daerah kantong kemiskinan, banyak sekali ditemukan petani tuna kisma. (Jakarta: 1985)

Sementara itu, tidak sedikit banyak lahan negara yang terlantar akibat salah urus perusahaan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) akibat tidak siap menghadapi dampak krisis ekonomi pada 1997. Bila saja waktu itu kebijakan Soeharto tidak diskriminatif, mungkin ceritanya akan lain. Rakyat tidak akan melakukan aksi reklaiming sebagai upaya perlawanan terhadap ketidakadilan regim Soeharto.

Dan sejarah pun mencatat bahwa tak lama setelah regim Soeharto runtuh, beragam aksi perlawanan pun muncul ke permukaan. Salah satu aksi yang mewarnai kejatuhan regim Soeharto adalah aksi para petani tuna kisma. Seperti yang terjadi di kawasan perkebunan teh Maleber-Baros, Cipanas-Cianjur Jawa Barat. Di kawasan inilah penulis bersama sahabat-sahabat seperjuangan mulai melakukan pendampingan kepada para petani penggarap yang memang tak miliki lahan.

Sebelum kami ikut terlibat dalam proses pendampingan, aksi reklaiming yang dilakukan berjalan secara sporadis dan cenderung anarkis, sehingga sangat mudah untuk masuk ke dalam jebakan muslihat pengusaha pemilik HGU dengan aparatus yang menyokongnya. Persis di saat itulah, kami mulai melakukan pendidikan politik dan mulai mengajak para petani penggarap untuk merapatkan barisan.

Tentu saja prosesnya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak hadangan, liku dan aral yang melintang dalam proses pendampingan yang kami lakukan di tengah keterbatasan dukungan dan minimnya pengalaman. Namun satu hal yang pasti, salah satu misi propetik kami waktu itu adalah bagaimana agar para petani bisa secara mandiri mampu mengorganisasikan dirinya sendiri. Wal hasil, dalam hitungan tidak lebih dari tiga tahun, proses transformasi yang dilakukan mulai membuahkan optimisme yang ditandai dengan kemampuan para petani penggarap mengorganisasikan diri mereka sendiri.

Saat itu kami menyadari bahwa bila kehadiran kami dalam proses transformasi terlalu sering maka hanya akan memperlambat proses kemandirian organisasi. Agar proses pematangan kemandirian organiasi tidak terhambat, maka strategi yang kami lakukan adalah bagaimana melahirkan pendamping organik dari kalangan mereka sendiri yang kesehariannya hidup bersama para petani penggarap. Dan wow, Alhamdulillah atas perkenan-Nya jualah, strategi ini berhasil melanjutkan proses transformasi secara gradual. Dan kini, perlahan tapi pasti, status kepemilikan lahan untuk para petani penggarap sudah tinggal memetik hasilnya. Sesuatu yang pada awalnya tak pernah terbayangkan bisa mencapai hingga sejauh itu.

Menakar Pendamping Eks. PNPM Perdesaan

Lalu apa kaitannya pengalaman penulis di atas dengan pendamping Eks. PNPM Perdesaan yang akhir-akhir ini masih ngotot mempertahankan eksistensinya untuk terus dijadikan pendamping desa tanpa harus melalui proses seleksi ? Tujuan pertama adalah penulis ingin menggugat peran mereka selama ini dalam melakukan proses pendampingan yang dalam amatan penulis layak dan perlu untuk dievaluasi.

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan program PNPM sudah ada sejak 1998. Penulis tidak menutup mata bahwa ada beragam sukses story di balik program yang didanai dari utang Bank Dunia. Sebagaimana tampak nyata dari  situs resmi World Bank yang mengatakan bahwa : Tujuan utama PNPM adalah mengurangi kemiskinan di seluruh provinsi di Indonesia melalui proses perencanaan masyarakat yang menghasilkan lapangan kerja dan berinvestasi pada proyek infrastruktur berskala kecil yang meningkatkan pembangunan desa individual dan kawasan perkotaan. Sejak 1998, Bank Dunia telah mendukung PNPM dan program-program terdahulu melalui kombinasi pinjaman dan bantuan teknis. (Lihat)

Kini, setelah 18 tahun berjalan, sudah kah program PNPM mencapai tujuan utamanya ? siapapun bisa dan diperbolehkan menilainya. Nah, bagi penulis keberhasilan dari program PNPM yang belum sempat disampaikan ke publik adalah adanya fakta nyata terkait betapa para pendamping Eks. PNMP begitu tergantung untuk menjadi pendamping abadi. Selain itu keberhasilan lain dari program PNPM adalah mejadikan para pendamping desa Eks. PNMP punya rasa katakutan yang berlebihan. Hal ini sangat tampak manakala Kementerian Desa membuka pendafataran baru untuk posisi pendamping desa secara transparan dan profesional sebagian para pendamping Eks. PNPM menolak untuk mengikuti seleksi.

Dampak lanjutan dari keberhasilan menanamkan rasa takut di benak para pendaping desa Eks. PNPM sebagaimana dipaparkan di atas, berujung pada lahirnya mental elitis yang membuat mereka selalu ingin dan minta diperlakukan secara istimewa. Hebatnya, mereka berkolaborasi dengan penguasa yang mengatasnamakan rakyat Indonesia. Hebat bukan ?

Keberhasilan lain dari pendamping Eks. PNPM adalah mudahnya mereka menuduh bahwa program rekrutmen pendamping desa yang dilaksanakan Kemendesa sebagai upaya menghabisi para pendamping “berpengalaman” (tanda kutip dari penulis). Tuduhan itu tampak dari salah satu tulisan berjudul: “Buset, Begini Cara Kemendes Habisi 12.000 Pendamping Desa Berpengalaman” yang tidak cukup punya keberanian menampakkan jati diri penulisnya, karena hanya memakai nama “merdesa” di kompasiana. Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/merdesa/buset-begini-cara-kemendes-habisi-12-000-pendamping-desa-berpengalaman_5731eb1a84afbddc078dda43

Nah, keberhasilan demi keberhasilan ini layak diapresasi. Karena dengan begitu berarti program PNPM tersebut telah banyak melahirkan para pendamping sejati dan abadi. Yaaa, sejatinya untuk segera disudahi jika tak mau mengikuti seleksi. Dan karena tak ada yang abadi di dunia ini, maka ambisi untuk menjadi pendamping desa abadi sebagaimana diinginkan sebagian para pendamping Eks. PNMP hanya akan membiarkan mereka menuhankan diri mereka sendiri. Sementara Tuhan miliki sifat laitsa kamitslihi syaiun, tidak sama dengan makhluk-Nya. Mudah-mudahan kita terhindar dari sifat-sifat firaun. Semoga. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun