Mohon tunggu...
Hasim Adnan
Hasim Adnan Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa Akar Negara

30 Maret 2016   14:40 Diperbarui: 30 Maret 2016   15:18 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.virmansyah.info"][/caption]Bisa dikatakan bahwa coretan ini lanjutan dari narasi tekt saya sebelumnya berjudul, “Pendamping Deda vs Profesional Arogan”. Hanya yang jadi fokusnya adalah konsepsi Desa dari masa ke masa. Tentu tanpa bermaksud melebih-lebihkan kinerja pemerintahan yang sekarang dibanding dengan pemerintahan periode-peridoe sebelumnya.

Meski sebenarnya, tulisan ini lebih didasarkan pada ajakan seorang sahabat untuk menyudahi debat terkait topik (rekrutmen) pedamping desa yang belakangan marak diberitakan media. Dan saya sependapat bahwa ketimbang jatuh pada debat kusir, lebih baik energi yang kita miliki digunakan untuk sesuatu yang positif. Misalnya memperkenalkan UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014 dan mendiskusikan bagaimana implementasinya di lapangan.

Saya termasuk yang antusias membicang desa, karena tema yang satu ini masuk dalam diskursus studi poskolonial. Mengingat temanya yang bersifat subaltern (sebuah istilah militer yang merujuk pada tingkat yang lebih rendah). Menjadi tidak heran jika studi poskolonial mewakafkan dirinya untuk mengangkat subjek yang dalam dunia keilmuan maupun politik dianggap menduduki posisi yang lemah atau dipandang sebelah mata.

Seturut dengan tema desa dalam diskursus poskolonial, Marwan Jafar (MJ), Menteri Desa PDT dan Transmigrasi (Mendesa PDTT), pernah mengatakan bahwa selama ini desa selalu diasosiasikan dengan  wilayah miskin, terbelakang, dan sejenisnya. Sementara kota, selalu identik dengan segala kemajuan dan kemakmuran. "Stereotip demikian tertancap kuat di benak sehingga seakan-akan memang demikianlah keadaan sesungguhnya," ujar MJ di sela-sela launching buku Kebangkitan Desa (25/2).

Nah, judul di atas juga sebenarnya terinspirasi dari metafora yang dilantunkan Galih, seniman Indonesia saat memeriahkan acara launching buku tersebut. Ia mengatakan bahwa, jika negara diibaratkan pohon tinggi menjulang, maka desa adalah akarnya. Dan harus diakui, bahwa saya sependapat dengannya.

 

Lalu Kini Desa

Ada benarnya bila persepsi yang terbangun selama ini menggambarkan bahwa desa se(lalu) diasosiasikan dengan wilayah miskin, terbelakang, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan keberadaan mengenai tata pemerintahan desa sangat bergantung pada dinamika kondisi dan situasi politik di tingkat nasional.[1] Bisa jadi pembaca sudah banyak yang mengetahui bahwa bila merujuk pada jejak historis mengenai tata kelola pemerintahan desa, maka keberadaannya sudah ada jauh sebelum Indonesia dideklarasikan sebagai negara merdeka.

Tresna mengungkapkan bahwa kumpulan masyarakat yang terikat pada adat tertentu hidup di Desa-Desa atau nama lain sesuai dengan karakteristik setempat. Dan dalam hubungan organisasi pemerintahan Hindia Belanda, Desa diakui sebagai suatu kesatuan hukum yang berdasar pada adat. Sementara hakim-hakim Desa diakui secara resmi pada tahun 1935.[2]

Memasuki awal kemerdekaan kedudukan desa diatur melalui UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang mengakui kewenangan otonom Desa. Meski demikian, saat itu muncul kekhawatiran yang disuarakan Soepomo bahwa struktur pemerintahan yang baru akan menghilangkan keberadaan struktur Pemerintahan Desa yang masih hidup. Sebagai upaya antisipasi, maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dan menginventarisasi kembali keberadaan masayarakat adat (Desa). 

Tiga tahun berselang terbitlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam salah satu pasalnya mengatur mengenai pembagian Daerah Otonom ke dalam dua bagian: Daerah Otonom Biasa dan Daerah Otonom Istimewa (Pasal 3). Dalam pasal dimaksud juga diatur mengenai bentuk dan tupoksi Pemerintahan Desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.

Meski sudah ada regulasi yang mengatur keberadaan Daerah Otonom, pada saat itu tampaknya beberapa kalangan masih merasa belum puas, sehingga membuat hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah memanas terutama di daerah Sumatera dan Sulawesi. Akumulasi dari rasa kecewa itu kemudian diwujudkan ke dalam gerakan pemberontakan yang menamakan diri PRRI/Permesta yang mendapat sokongan dari sejumlah perwira militer. Di tengah hiruk pikuk itulah, lahir sejumlah regulasi yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Desa antara lain UU No. 1 Tahun 1957 disusul kemudian UU No. 18 Tahun 1965 dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.[3]

Sementara itu semasa Orde Baru ada 2 regulasi yang diterbitkan yaitu, UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979. Hanya saja Undang-undang yang disebut terkahir menandai upaya pelemahan posisi Pemerintahan Desa. Dikatakan demikan, karena terjadi pengebirian terhadap hak penghasilan dan hak ulayat Desa. Pemerintahan Desa juga hanya diposisiskan sebagai unit administrasi pemerintahan yang berada pada tingkatan paling bawah dan berada dalam “koordinasi” pemerintahan kecamatan. Regulasi ini yang kemudian dalam pandangan Yando Zakaria dinilai sebagai upaya Orde Baru untuk meluluhlantakan struktur masyarakat Desa yang berbasis kearifan lokal.[4]

Kini tibalah pada masa reformasi yang diawali dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disusul kemudian UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua Undang-undang ini merupakan Undang-undang terakhir yang didasarkan pada pasal 8 UUD 1945 sebelum pasal tersebut diamandemen. Lima tahun berjalan terbit Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang secara khusus memuat Bab XI mengenai Desa. Seiring perkembangan waktu, bergulirlah wacana untuk menerbitkan Undang-undang khusus mengenai Desa yang dalam rentang waktu sepuluh tahun kemudian lahirlah Undang-undang No. 6 Tahun 2014 yang selanjutnya dikenal dan disebut dengan UU Desa.

 

Menyiasati Kendala Lapangan

Paska UU Desa terbit, sejumlah testimoni muncul dari banyak kalangan. Misalnya salah satu pernyataan: “UU Desa ini progresif, lengkap menyentuh seluruh aspek kehidupan dan isu pembangunan, tetapi rumit dan sulit dipahami”. Kendala pemahaman ini antara lain yang menyebabkan kesiapan lokal dan keputusan daerah menjadi terhambat. Untuk itulah, perlu berbagai ikhitar yang bisa berupa sosialisasi maupun diskusi yang lebih intensif sebagai upaya internalisasi sekaligus mendaratkan dan melembagakan UU Desa ini ke ranah desa.[5]

Guna mengatasi kendala di atas, keberadaan pendamping desa menjadi sebuah keniscayaan. Dikatakan demikan karena pendamping desa merupakan salah satu aktor dan sumberdaya pemerintah yang salah satu mandatnya membawa dan melembagakan UU Desa ke dalam desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertiggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) bertugas menyiapkan dan membekali para pendamping desa, baik dengan pelatihan maupun dengan menyediakan buku-buku rujukan yang berkaitan dengan keberadaan Desa.

Dalam konteks ini, buku karya Prop. Sutoro Eko berjudul, “Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa” yang telah diterbitkan oleh Kemdesa PDTT sangat berguna bagi siapa saja yang peduli tentang Desa. Dan saya kira, siapapun yang cinta Indonesia sejatinya memiliki kepedulian tentang keberadaan desa, karena desa adalah akar negara.

Wallahu A’lam Bishawab.


[1] HAW. Widjadja., Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hal. 7.
[2] Mr. R. Tresna., Peradailan di Indonesia dari Abad ke Abad, Amsterdam-Jakarta, NV. W. Versluys, 1957, hal. 67-68.  
[3] Pengertian Desapraja sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Aturan ini bertujuan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III diseluruh wilayah Indonesia.
[4] R. Yando Zakaria., Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru, Jakarta: ELSAM, 2000.
[5] Sutoro Eko., Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, Jakarta: Kemendesa PDTT, 2015. Hal. 8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun