Mohon tunggu...
Aloysius Kristiawan
Aloysius Kristiawan Mohon Tunggu... Guru - Menabur Gagasan

Aloysius Kristiawan, S.Ag., Praefect Studiorum Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. mengajar Pendidikan Agama, Logika dan Public Speaking.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keluarga dan Masyarakat sebagai Basis Pendidikan

2 Mei 2020   07:30 Diperbarui: 2 Mei 2020   07:57 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via doodlefinder.org

Hardiknas dalam Catatan Sejarah

Ketika berbicara tentang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kita tidak dapat mengabaikan peranan Ki Hadjar Dewantara. Dalam sejarahnya, beliau lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, dan dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda. Setelah kembali ke Indonesia ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia. Filosofinya, tut wuri handayani ("di belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. 

Ia wafat pada tanggal 26 April 1959. Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959 menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Keluarga sebagai Tempat Utama Pendidikan 

Untuk saat ini, dunia pendidikan menjadi bahan diskusi yang tetap hangat dengan segala persoalannya. Biaya yang semakin mahal masih menjadi keluhan utama para orang tua untuk memberikan pendidikan bagi anak-anaknya. Belum lagi masalah kebijakan-kebijakan yang ada dalam lembaga-lembaga pendidikan yang dirasa membatasi ruang gerak para pelaku pendidikan. Dan yang masih hangat yaitu persoalan klasik tentang ujian nasional yang rawan akan ketidakjujuran. Tampaknya, pendidikan nasional yang dicita-citakan bersama seolah masih sulit diwujudkan.

Jika demikian keadaannya, akan lebih baik jika kita menggali kembali makna pendidikan. Ki Hajar Dewantara mengemukakan, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (1962). Maka 'Pendidikan berarti daya upaya utk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak' (KHD, 1957).

Sekolah atau perguruan tinggi merupakan sarana realisasi makna pendidikan secara formal. Namun, pendidikan yang sesungguhnya dan yang terutama berawal dari keluarga dan. Keluarga merupakan tempat utama pendidikan dasar seseorang. Setiap pribadi pasti berasal dari sebuah keluarga dengan aneka ragam situasinya. Kekuatan kodratnya sebagai manusia, seperti diungkapkan Ki Hajar Dewantara, pastilah terbentuk bersama dengan nilai-nilai dan kebiasaan yang tertanam dalam keluarganya.

Mengamati aneka persoalan peserta didik yang terjadi di sekolah, ternyata banyak dipicu oleh situasi yang ada di dalam keluarga. Secara praktis, sikap dan perilaku yang ditampilkan seorang peserta didik di dalam lingkungan sosialnya merupakan cerminan dan hasil proses panjang yang dialami dalam keluarga. Oleh karena itu, para orang tua pun\perlu menanamkan dan menerapkan nilai-nilai yang baik sebagai pendidikan dasar bagi anak-anak mereka.

Seseorang yang berasal dari, atau hidup dan tinggal dalam sebuah keluarga yang menjunjung nilai-nilai toleransi, kejujuran, serta sopan santun dalam segala situasi, maka hal-hal tersebut akan terbentuk dan diterapkan secara otomatis pada sikap dan kepribadiannya. Juga jika hal-hal negatif lebih mendominasi situasi dalam keluarga, seperti ketidakpedulian, orientasi pada hasil, dan sebagainya akan menjadi "teladan buruk" bagi seseorang. Di sinilah berlaku ungkapan 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.'

Pendidikan menjadi Bekal Hidup Bermasyarakat

Pendidikan juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan peranan yang diberikan oleh masyarakat. Sebuah keluarga tentu hidup dan tinggal bersama di dalam suatu lingk-ngan masyarakat. Singkatnya, kehidupan masyarakat menjadi tempat ujian pendidikan yang diterima seseorang di dalam keluarga.

Dinamika dari aneka persoalan di dalam keluarga biasanya akan semakin meningkat ketika melibatkan masyarakat. Segala kemungkinan bisa terjadi. Kuatnya nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang. Pengaruhnya dapat berupa dukungan dan peneguhan, atau bahkan pertentangan dan pelemahan terhadap nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga.

Pendidikan formal di sekolah merupakan proses lanjutan atas pendidikan yang diterima seorang pribadi. Sebagai proses lanjutan, maka sejatinya sekolah bukanlah tempat yang mampu mengubah secara total sikap dan perilaku seorang peserta didik menjadi berbeda dari yang sudah terbentuk dalam keluarga dan masyarakat.

Sekolah menjalankan fungsi pendidikan dalam arti educare, yaitu 'membangunkan' kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan potensial yang dimiliki anak. Disadari bahwa, selain ada nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga dan masyarakat, dalam diri seorang anak ada kekuatan terpendam yang harus digali dan diakomodasi secara formal. Penyadaran akan peran hati nurani dan akal budi menjadi menu utama dalam proses educare ini.

Namun, jika pendidikan formal tidak mampu dialami karena biaya yang tak terjangkau, maka masyarakat memiliki tanggung jawab untuk membuka diri sebagai tempat membangun dan melatih seseorang untuk belajar mempersiapkan keahlian dan profesinya yang khusus (Lewis Adams, 1965). Sebab, secara praktis setiap orang toh akan kembali kepada masyarakat. Maka perlu penegasan kembali bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak demi kemajuan bersama sebagai bangsa Indonesia. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun