Dag dig dug derrr. Lagi-lagi, isu salah tangkap mencuat. Lebih parah lagi, ini sudah diproses hukum, divonis penjara pula. Alhasil, mendekamlah di jeruji besi orang yang tak bersalah.
Syahdan, karena perasaan berdosa, mengakulah IP sebagai pelaku sebenarnya pembunuhan Dicky, pengamen Cipulir. Ia membeberkan fakta, bahwa otak pelaku pembunuhan adalah Cb dan B, sementara 6 orang yang saat ini diproses hukum tidak tersangkut paut dengan peristiwa tersebut.
IP mengatakan, motif pembunuhan di kolong jembatan Cipulir tersebut adalah didasari oleh kehendak pelaku menguasai motor korban. Saat eksekusi Dicky, IP bertindak mengawasi situasi di sekitar lokasi pembunuhan. Dari hasil kejahatan, IP mendapatkan jatah Rp. 300 ribu.
Meski pengakuan IP masih perlu investigasi lebih lanjut --untuk membuktikan kebenarannya, namun peristiwa itu bagai petir di siang bolong. Mengagetkan kita. Mengorek kembali amarah kita akan borok penegakan hukum di negeri ini yang telah lama mengendap.
Memori kita dibawa kembali pada kasus salah tangkap yang telah lalu. Proses hukum yang cacat menimpa Chaerul Saleh Nasution, Robin Napitupulu, J.J Rizal, Aguswandi Tanjung, Maya Agung Dewandaru, Hasan Basri, Djati Hutomo, Yusli, 15 orang pensiunan Angkasa Pura, Syahri Ramadhan alias Koko, Marwan Bin Takat --dan lainnya tentunya.
Pertanyaan besar yang selama ini menggelayuti alam sadar kita pun kembali menyeruak, bagaimana mungkin ini terjadi? Sekonyol inikah proses penegakkan hukum di negeri ini?
Tak kurang-kurangnya aturan hukum ihwal penanganan proses pidana dibuat. Ada KUHAP dan peraturan pelaksananya pula, ada Perkap dan lain sebagainya pula. Tak kurang ketat pula aturan-aturan tersebut berusaha melindungi masyarakat agar tak menjadi korban kebobrokan aparat penegak hukum. Menghindarkan orang yang tidak bersalah diproses hukum, apalagi sampai dihukum.
Lantas, bagaimana pula penegak hukum bisa berulang kali melakukan kesalahan yang sama?
Bahwa KUHAP sendiri mengatur, sebelum membawa orang ke muka persidangan, dilalui terlebih dululah proses penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan. Bahwa proses ini dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran --fakta yang sebenar-benarnya-- dari suatu peristiwa yang terjadi. Siapa pelaku sebenarnya dan bagaimana peristiwa yang senyatanya. Yang lantas, dapat dimintakan pertangunggjawaban pada orang yang tepat pula tindak pidana tersebut.
Bahwa jika kita mau, sebaik apapun dan seberapa sempurnanya aturan hukum yang ada, akan dengan mudah kita temui titik lemahnya. Tak kurang celah pula untuk kita kambinghitamkan ia. Tak kurang pula bahan untuk kita jadikan penutup lemah dan tololnya diri kita.
Maka, dalam kasus salah tangkap, jika kita mau, kita pun bisa katakan bahwa ada andil aturan hukum yang lemah yang menjadi musabab kekonyolan ini terjadi. Aturan pokok acara pidana yang telah usang sudah tak update lagi. Ya, kira-kira begitu dalil yang bisa kita pakai.
Namun, tak bisa dipungkiri, ada faktor lain --yang menjadi faktor utama-- yang menyebabkan penegak hukum bagai keledai, yang terjerambab pada lubang yang sama. Ada faktor X yang menjadi kunci daripada lemahnya aturan hukum yang ada saat ini. Atau, yang semestinya bisa menutupi kelemahan-kelemahan aturan yang ada saat ini.
Lemahnya tingkat profesionalisme aparat penegak hukum, kiranya tempat tepat untuk kita arahkan jari telunjuk kita. Bekerja tanpa berpegang pada dasar. Melaksanakan tugas dengan prinsip "sak enake udele dewe." Tanpa berpegang pada aturan dan dasar fakta yang kuat, sekonyong-konyong menjebloskan orang ke dalam penjara. Mengekang hak asasi paling dasar manusia, hak untuk bebas.
Kita mungkin perlu bertanya --dengan pertanyaan yang mendasar, bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan tindak pidana bisa dijadikan tersangka. Padahal, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka saja hukum menentukan, penyidik setidaknya harus memiliki dua alat bukti --alat bukti ini bisa diperolah dari pengakuan orang yang disangka, orang yang menyaksikan, surat-surat, pendapat ahli dan petunjuk yang diperoleh dari barang bukti. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan suatu apapun bisa dibuatkan berkas hingga P-21. Metode apa yang dipakai oleh aparat? Mengarang fiksikah?
Membuat alur cerita, menentukan siapa tokoh, setting dan segala macamnya. Membuat proses penyidikan hanya berdasar imajinasi semata. Dengan lancang menutup mata akan keberadaan undang-undang dan segala teori hukum yang ada.
Fakta terjadi menyebutkan, kerap kali dalam mencari alat bukti, aparat memaksa seseorang yang diperiksa untuk mengaku sebagai pelaku kejahatan. Ini seperti guyonan, kehebatan polisi kita adalah bisa membuat kelinci mengaku sebagai beruang. Dipukuli, disiksa dan diintimidasi dululah kelinci tersebut untuk kemudian menuruti kehendak pak Polisi. Polisi seperti sutradara, yang sekehendaknya menentukan siapa tokoh yang pantas untuk cerita yang ia buat.
Keacuhan aparat penegak hukum akan hak asasi manusia pun menjadi biang keladi yang tak kalah kurang ajarnya. Hak seseorang untuk tidak disangka melakukan kejahatan sebelum adanya keputusan pengadilan, hak seseorang untuk didampingi kuasa hukum dan lainnya kerap hanya dijadikan teks mati di dalam kitab-kitab hukum. Dengan keacuhan ini, aparat kerap menjadikan seorang terperiksa sebagai obyek. Sesuka ia mau memperlakukan seperti apa.
Dan tentu, masih banyak kekonyolan-kekonyolan lain yang jika kita ungkit satu per satu kian membuat hati kita teriris. Bahwa dalam menyelidiki dan menyidik perkara hanya dijadikan alasan untuk menyenangkan atasan, atau untuk menaikkan jabatan kiranya tak kurang menyakitkannya jika dijabarkan.
Dengan demikian, untuk menghindarkan kesalahan yang sama, sudah selayaknya dan seharusnya dilakukan pembenahan. Selain pada sisi pembenahan aturan hukum, pembenahan serta pembangunan pada sisi aparat penegak hukum menjadi aspek penting yang mesti difokuskan.
Pembenahan aparat hukum kiranya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Kepala Kepolisian RI mendatang. Bahwa banyak penyakit di lembaga yang (akan) dipimpinya adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Bahwa hal tersebut perlu untuk segera diobati adalah hal yang tak bisa dipungkiri pula.
Menindak tegas siapapun anakbuahnya yang terbukti melakukan penyelewengan dalam menjalankan tugas tak boleh ditawar-tawar. Tak perlu tanggung-tanggung, hukum saja mereka yang dengan seberat-beratnya. Hal ini setidaknya bisa menjadi efek jera serta dijadikan alat refleksi aparat lainnya untuk bekerja dengan benar dan penuh tanggungjawab.
Beliau pun harus bisa menjamin bahwa siapapun aparat yang ditempatkan sebagi penyidik adalah polisi-polisi terpilih. Mereka adalah orang-orang kompeten yang dibekali dengan ahlak dan akal. Ahlak membuat mereka bisa terhindar dari potensi untuk abuse of power. Sementara akal membuat mereka bisa menjabarkan aturan-aturan hukum dengan benar, dengan dasar teori dan keilmuan yang dimiliki.
Itupun dengan catatan, jika beliau ingin namanya dicatat dengan tinta emas di lembaran sejarah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H