Mohon tunggu...
Akhmad Zaenuddin
Akhmad Zaenuddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bakwan dalam genggaman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Keliru Partai Demokrat

6 November 2013   01:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:32 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keliru bila Demokrat menganggap kemahiran berbahasa verbal dan tubuh para calegnya akan menjadi kartu AS pada pemilu mendatang. Menjadikan mereka pemimpin idaman rakyat, yang dengan mudah akan merebut simpati serta kemenangan.

Keliru pula anggapan kemenangan SBY di 2004 dan 2009 semata karena ia mahir berkomunikasi dengan rakyat. Ada faktor lain yang lebih dominan dari itu, diantaranya; menggebunya kehendak publik akan sosok pemimpin yang baru, runtuhnya kepercayaan rakyat pada Megawati, pecahnya suara Golkar dan lainnya.

Memahami Hakikat Kepemimpinan

Kepemimpinan bukan cuma soal kemahiran berkomunikasi dengan yang dipimpin. Banyak prasyarat yang harus dimiliki olehnya, yang tentu tak semua orang memiliki.

Dalam khazanah ilmu pewayangan, dikenal delapan sikap atau laku pemimpin yang disebut dengan 'Hasta Brata.' Pertama Surya Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus dapat memberi penerangan. Ia harus mampu memberikan penjelasan ihwal maksud dan tujuan setiap keputusannya. Ia mesti cakap berkomunikasi dan mengajar untuk menjelaskan segala yang belum dimengerti rakyatnya.

Kedua Bayu Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus mengetahui dan memahami perasaan dan kehendak serta pikiran yang dipimpin, bersikap ramah tamah dan memiliki budi yang tinggi, sehingga dapat memberikan kesejukan. Ketiga Indra Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus dapat mengusahakan dan menjamin kesejahteraan lahir dan batin orang-orang yang dipimpinnya.

Keempat Dhana Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus dapat menggunakan harta kekayaan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama. Pemimpin bahkan harus memberi contoh sikap dan cara hidup sederhana. Kelima Sasi Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang membuat dirinya disenangi orang yang dipimpin. Ini dapat diwujudkan dengan cara menyayangi dan menghargai rakyat. Keenam Yama Brata, yang maksudnya pemimpin harus tegas dalam menegakan keadilan, siapa salah wajib dikenai hukuman yang setimpal atas nama keadilan.

Ketujuh Pasa Brata, yang maksudnya dalam mengambil keputusan pemimpin harus berdasarkan pertimbangan dengan melihat fakta-fakta dan bijaksana, sehingga keputusan yang diambil tepat. Kedelapan Agni Brata, yang maksudnya seorang pemimpin harus mampu memberikan kehangatan, membangkitkan semangat bekerja orang yang dipimpin.

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, pernah berujar bahwa seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Itu artinya, pemimpin dan Hasta Brata-nya tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia pun tidak cukup jika hanya hasil olah sekolah kepribadian, bahkan yang skala internasional sekalipun.

Pun demikian, sosok pemimpin bukan lahir dengan merekayasa Hasta Brata, apalagi dalam kurun waktu sangat singkat dan dibentuk oleh segelintir orang saja. Hasta Brata terbentuk karena gesekan dan pergulatan antara pemimpin dengan rakyat, kondisi sosial, keprihatinan, tangisan dan lainnya.

Seperti Soekarno yang sikap indra bratanya lahir ketika melihat bangsanya sengsara karena ditindas kolonial selama ratusan tahun. Ia gerah ketika melihat rakyat lapar dan sengsara. Laku kepemimpinannya terbentuk di tengah gema tangisan di seluruh penjuru negeri.

Seperti Mahatma Gandhi yang memiliki laku sasi brata lantaran gaya hidup serta teladan yang diberikan pada bangsanya. Seperti juga Recep Tayyip Erdogan yang menunjukkan sikap yama bratanya ketika melihat anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa di Gaza menjadi korban politik Israel.

Seperti juga Nelson Mandela, Gus Dur, Hugo Chavez, Dalai Lama, Fidel Castro, Barack Obama dan lainnya. Laku kepemimpinan mereka bukanlah dibentuk oleh sekolah kepribadian. Ia terbentuk dan lahir karena zaman.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah dalam rangka apa Demokrat mengirim calegnya untuk belajar kepemimpinan pada sekolah kepribadian? Membentuk laku Hasta Brata kah? Atau, cuma sekedar mewujudkan hasrat memenangkan pemilu 2014?

Jika tujuannya membentuk laku Hasta Brata, maka jawabnya adalah Demokrat keliru. Argumen yang telah dijabarkan di atas kiranya cukup menjawab itu. Bahwa seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Ia bukanlah hasil olah sekolah kepribadian.

Namun, jika jawabnya adalah untuk memenangkan pemilu, Demokratpun tidak sepenuhnya benar. Bahwa rakyat tak lagi gampang tertipu dengan rekayasa pesona diri serta "lipstik" para pencari kekuasaan. Fenomena Jokowi telah menjawabnya. Lebih rasional dan tidak lagi mau tertipu omong kosong, itulah gambaran pemilih zaman sekarang.

Kembali ke Politik yang Benar

Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, begitulah kata teori klasik Aristoteles. Bahwa pada faktanya, ia mengalami penyempitan makna adalah hal yang tak terbantahkan. Nilai suci politik tergerus sifat rakus manusia.

Politik tak lagi ditempatkan untuk kepentingan umat, ia bertransformasi menjadi ajang perebutan kekuasaan yang goalnya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan. Fenomena kejahatan korupsi kiranya sudah menjawab itu. Berlomba-lomba merebut tampuk kekuasaan yang ujung-ujungnya menimbun rupiah.

Perubahan pemaknaan politik tersebutlah yang fatal. Pemilu tak lagi menjadi bagian dari politik yang benar. Ia tak lagi menjadi sarana warga negara untuk mengabdi pada negara, tapi untuk mencari kekayaan dan kenyamanan.

Kekeliruan itulah yang mestinya perlu diluruskan --meski butuh waktu lama. Dan demokrat harusnya bisa menjadi trigger akan hal itu, menyelaraskan teori dengan praktik dari politik. Itu bisa dimulai dari penentuan siapa sosok caleg yang pantas pentas di 2014. Seleksi caleg idealnya digunakan untuk memberi sarana bagi orang-orang yang memiliki hasta brata. Memberi sarana bagi orang-orang yang memiliki laku mencerahkan, berbudi luhur, menyejahterakan, memberi teladan, dicintai, tegas dan bijaksana untuk berada pada tampuk kepemimpinan.

Namun lagi-lagi pertanyaan yang timbul adalah kenapa kini Demokrat mengirim calegnya belajar kepemimpinan pada sekolah kepribadian? Jawabnya, demokrat menunjukkan kekeliruan dalam memilih sosok caleg. Ia memilih orang-orang yang tak memiliki hasta brata, sehingga cara praktisnya adalah memoles mereka agar seolah-olah seperti pemimpin produk olah masyarakat dan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun