Mohon tunggu...
Akhmad Zaenuddin
Akhmad Zaenuddin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bakwan dalam genggaman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Keliru Partai Demokrat

6 November 2013   01:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:32 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti Mahatma Gandhi yang memiliki laku sasi brata lantaran gaya hidup serta teladan yang diberikan pada bangsanya. Seperti juga Recep Tayyip Erdogan yang menunjukkan sikap yama bratanya ketika melihat anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa di Gaza menjadi korban politik Israel.

Seperti juga Nelson Mandela, Gus Dur, Hugo Chavez, Dalai Lama, Fidel Castro, Barack Obama dan lainnya. Laku kepemimpinan mereka bukanlah dibentuk oleh sekolah kepribadian. Ia terbentuk dan lahir karena zaman.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah dalam rangka apa Demokrat mengirim calegnya untuk belajar kepemimpinan pada sekolah kepribadian? Membentuk laku Hasta Brata kah? Atau, cuma sekedar mewujudkan hasrat memenangkan pemilu 2014?

Jika tujuannya membentuk laku Hasta Brata, maka jawabnya adalah Demokrat keliru. Argumen yang telah dijabarkan di atas kiranya cukup menjawab itu. Bahwa seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Ia bukanlah hasil olah sekolah kepribadian.

Namun, jika jawabnya adalah untuk memenangkan pemilu, Demokratpun tidak sepenuhnya benar. Bahwa rakyat tak lagi gampang tertipu dengan rekayasa pesona diri serta "lipstik" para pencari kekuasaan. Fenomena Jokowi telah menjawabnya. Lebih rasional dan tidak lagi mau tertipu omong kosong, itulah gambaran pemilih zaman sekarang.

Kembali ke Politik yang Benar

Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, begitulah kata teori klasik Aristoteles. Bahwa pada faktanya, ia mengalami penyempitan makna adalah hal yang tak terbantahkan. Nilai suci politik tergerus sifat rakus manusia.

Politik tak lagi ditempatkan untuk kepentingan umat, ia bertransformasi menjadi ajang perebutan kekuasaan yang goalnya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan. Fenomena kejahatan korupsi kiranya sudah menjawab itu. Berlomba-lomba merebut tampuk kekuasaan yang ujung-ujungnya menimbun rupiah.

Perubahan pemaknaan politik tersebutlah yang fatal. Pemilu tak lagi menjadi bagian dari politik yang benar. Ia tak lagi menjadi sarana warga negara untuk mengabdi pada negara, tapi untuk mencari kekayaan dan kenyamanan.

Kekeliruan itulah yang mestinya perlu diluruskan --meski butuh waktu lama. Dan demokrat harusnya bisa menjadi trigger akan hal itu, menyelaraskan teori dengan praktik dari politik. Itu bisa dimulai dari penentuan siapa sosok caleg yang pantas pentas di 2014. Seleksi caleg idealnya digunakan untuk memberi sarana bagi orang-orang yang memiliki hasta brata. Memberi sarana bagi orang-orang yang memiliki laku mencerahkan, berbudi luhur, menyejahterakan, memberi teladan, dicintai, tegas dan bijaksana untuk berada pada tampuk kepemimpinan.

Namun lagi-lagi pertanyaan yang timbul adalah kenapa kini Demokrat mengirim calegnya belajar kepemimpinan pada sekolah kepribadian? Jawabnya, demokrat menunjukkan kekeliruan dalam memilih sosok caleg. Ia memilih orang-orang yang tak memiliki hasta brata, sehingga cara praktisnya adalah memoles mereka agar seolah-olah seperti pemimpin produk olah masyarakat dan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun