kontrak didaftarkan ke KPPN oleh satuan kerja, sehubungan dengan peraturan maupun sistem aplikasi yang ada saat ini (2024). Artikel ini ditujukan untuk rekan-rekan yang berkecimpung di bidang perbendaharaan negara dalam lingkup APBN Pemerintah Pusat yang memakai SPAN maupun SAKTI.
Artikel ini ingin mengelaborasi seberapa pentingkah suatu perikatan/Seberapa pentingkah suatu perikatan/kontrak didaftarkan ke KPPN oleh satuan kerja?
Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2023 (selanjutnya disingkat dengan istilah PMK 62) tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, bahwa dalam pasal 209 pembayaran tagihan dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran Langsung (LS) atau mekanisme Uang Persediaan (UP). Tentu saja diikuti ketentuan bahwa pada prinsipnya pembayaran kepada pihak ketiga adalah dengan mekanisme LS; dengan kata lain LS lebih diprioritaskan untuk digunakan oleh satuan kerja pemerintah dibandingkan dengan mekanisme UP karena pada PMK 62 tersebut juga disebutkan bahwa mekanisme UP dapat digunakan untuk membayar pengeluaran operasional satker atau pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme LS. (judgement atas frasa tidak dapat dilakukan dengan mekanisme LS perlu dielaborasi di artikel pembahasan lain).
Pada PMK 62 dan aturan di atasnya, tidak menyebutkan pembagian cara dalam mekanisme LS itu sendiri. Pembagian cara tersebut yang penulis maksudkan adalah mekanisme LS Kontraktual dan mekanisme LS Non Kontraktual.
Mekanisme LS Kontraktual dapat dijelaskan sebagai mekanisme pembayaran langsung kepada pihak penerima hak pembayaran dengan adanya proses untuk mencadangkan dana pagu DIPA satuan kerja terlebih dahulu sebesar nilai perikatan/kontrak antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan pihak penyedia barang/jasa. Hal tersebut sering disebut sebagai proses mendaftarkan kontrak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN); yang mana kontrak tersebut akan memiliki identitas berupa Nomor Register Kontrak (NRK). Nantinya SPM LS Kontraktual yang diajukan oleh satker ke KPPN akan memiliki nilai total yang tidak boleh melampaui dari nilai pagu yang dicadangkan tersebut.
Adapun LS Non Kontraktual dapat dipahami sebagai mekanisme pembayaran langsung kepada pihak penerima hak pembayaran tanpa perlu adanya proses mencadangkan dana pagu terlebih dahulu ke KPPN. Satker dapat mengajukan SPM LS Non Kontraktual dengan batas atas senilai pagu DIPA yang dimilikinya dan tidak perlu memperhatikan nilai perikatan/kontrak. Contohnya sederhananya adalah SPM Gaji yang ditujukan langsung ke pegawai, SPM pembayaran tagihan daya dan jasa, maupun SPM pembayaran honorarium maupun perjalanan dinas.
Terlepas dengan istilah Kontraktual maupun Non Kontraktual, semua SPM LS tersebut akan memindahbukukan sejumlah dana dari rekening kas umum negara ke rekening si penerima hak pembayaran secara langsung, oleh karenanya disebut sebagai mekanisme pembayaran langsung (LS).
Dalam implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) pada Kementerian Keuangan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan (Perdirjen Perbendaharaan) Nomor PER-58/PB/2013 tentang Pengelolaan Data Supplier dan Data Kontrak dalam Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (selanjutnya disebut sebagai PER-58). Perdirjen tersebut melingkupi pengaturan mengenai tipe, struktur, jenis dan elemen data supplier maupun kontrak, pencatatan dan validasi data supplier maupun kontrak, serta pengelolaan data supplier maupun data kontrak.
Dalam PER-58 pada Bab VI tentang Pencatatan dan Validasi Data Kontrak pasal 19, disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembayaran yang bersifat kontraktual, satker wajib mendaftarkan data kontrak kepada KPPN selaku Kuasa BUN untuk dicatat dalam database SPAN. Data kontrak yang didaftarkan sebagaimana dimaksud meliputi data atas tanda bukti perjanjian berupa kontrak yang terdiri dari SPK (Surat Perintah Kerja) atau Surat Perjanjian untuk transaksi yang akan dibayarkan melalui mekanisme LS.
Merujuk pada peraturan tersebut, dapat dipahami bahwa semua perikatan/kontrak dari satuan kerja yang memakai bukti perikatan minimal berupa SPK maupun Surat Perjanjian yang pembayarannya bersifat kontraktual maka wajib didaftarkan kontraknya ke KPPN. Dengan demikian pembayarannya diajukan menggunakan SPM LS Kontraktual.
Pada saat PER-58 diterbitkan di tahun 2013, di sisi Kementarian Keuangan selaku BUN telah menggunakan SPAN, dan di sisi K/L masih menggunakan Aplikasi SPM (yang nantinya menjadi Aplikasi SAS di tahun 2015). Aplikasi SPM maupun SAS merupakan aplikasi berbasis desktop yang database transaksinya berada secara luring di masing-masing komputer satuan kerja.
Urgensi pendaftaran kontrak ke KPPN oleh satuan kerja.
Sejauh mana urgensi suatu kontrak didaftarkan oleh satker ke KPPN untuk dicatatkan dalam SPAN?
Pencadangan pagu tersebut memiliki tujuan yakni mengunci pagu, mengamankan pagu dan memastikan pagu anggaran tetap tersedia untuk dibayarkan kepada pihak penerima hak pembayaran, mengingat jangka waktu pelaksanaan kontrak pada umumnya memiliki waktu penyelesaian yang lama dan banyak yang memiliki masa penyelesaian hingga 31 Desember. Apabila pagu tersebut tidak dicadangkan, maka dikhawatirkan pagu anggaran yang sudah dikomitmenkan dengan penyedia barang/jasa berpotensi berubah nilai pada DIPA, baik disebabkan karena terbebani pembayaran lain maupun terkena revisi anggaran yang mengakibatkan perubahan pagu berkurang. Dengan alasan tersebut, urgensi untuk mendaftarkan kontrak ke SPAN muncul.
Namun, pada praktiknya di lapangan muncul kasus-kasus yang membuat kita bisa mempertanyakan urgensi pendaftaran kontrak ke KPPN:
-Bagaimana jika jangka waktu pelaksanaan kontrak pendek? Misalnya hanya seminggu, atau kurang dari itu yang pembayarannya cukup dilakukan sekaligus. Contohnya adalah perikatan dalam rangka pengadaan barang/jasa lainnya di ekatalog.
-Bagaimana untuk perikatan yang dari perencanaan anggarannya memang sudah didetilkan pada POK satker sehubungan dengan RSPP? Implementasi RSPP mengamanatkan penyusunan anggaran DIPA satker dalam POK nya harus didetilkan hingga 16 segmen; sampai level item di bawah akun belanja. Hal tersebut berarti satker telah berkomitmen mengalokasikan belanja untuk keperluan perikatan tertentu. Satker juga tidak dapat serta merta mengubah karena tetap harus melalui revisi, walaupun revisinya minimal dengan pengesahan KPA.
-Bagaimana apabila kontrak tersebut merupakan kontrak tunggakan pekerjaan dari tahun-tahun anggaran yang lalu, yang mana sudah terjadi BAST pekerjaan, namun belum bisa dibayarkan karena pada tahun anggaran yang lalu belum tersedia cukup dana untuk pembayaran?
-Bagaimana apabila kontrak tersebut merupakan kontrak KPBU yang perikatannya bisa jadi terjadi di tahun ini dengan jangka waktu belasan tahun sedangkan pembayarannya baru dilakukan di tahun-tahun mendatang?
Setidaknya beberapa pertanyaan tersebut dapat kita elaborasi supaya membentuk pemahaman terkait dengan sakral atau tidaknya pendaftaran kontrak oleh satker ke KPPN.
Jika kita berangkat dari PER-58, maka jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah bahwa semua perikatan wajib didaftarkan kontraknya ke KPPN dengan ketentuan minimal bentuk perikatannya berupa SPK atau Surat Perjanjian. Yang kita ketahui saat ini merujuk pada peraturan pengadaan barang dan jasa dari LKPP, SPK digunakan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan nilai maksimal 100jt, maupun pengadaan barang/jasa lainnya dengan nilai minimal 50jt. Dengan demikian untuk jasa konsultansi, berapapun nilainya maka harus didaftarkan kontraknya; dan untuk pengadaan barang/jasa lainnya dengan nilai minimal 50jt maka harus didaftarkan kontraknya ke KPPN menurut PER-58.
Namun coba kita menengok ketentuan PMK 62 pada pasal 214 yang menyebutkan bahwa pembayaran dengan UP kepada setiap penerima hak pembayaran paling banyak adalah Rp 200 juta. Hal tersebut dapat dipahami bahwa satker dapat menggunakan mekanisme UP untuk membayarkan kegiatan termasuk perikatan dengan nilai maksimal Rp Rp 200 juta. Hal ini beririsan kontradiktif dengan premis sebelumnya, karena menurut PMK 62 apapun bentuk perikatannya asalkan memiliki nilai maksimal Rp 200 juta maka dapat dibayarkan dengan mekanisme UP.
Dengan berangkat dari mekanisme UP yang dapat dipakai untuk membayarkan kegiatan kepada penerima hak dengan nilai maksimal Rp 200 juta, maka timbul pertanyaan kembali; apakah pendaftaran kontrak ke KPPN untuk nilai perikatan/kontrak s.d. Rp 200 juta dapat dikesampingkan?
Dalam kasus lain kita dapat membahas pembayaran tunggakan atas pekerjaan tahun anggaran yang lalu, yang perlu mencantumkan akun pembayaran tunggakan pada halaman IV DIPA tahun anggaran berjalan. pada praktiknya satuan kerja tidak dapat mendaftarkan kontrak tunggakan tersebut ke SPAN dalam rangka pembayaran tunggakan tersebut dikarenakan nomor kontrak yang sudah pernah didaftarkan di SPAN tidak dapat dipakai ulang oleh satuan kerja untuk mendaftarkan kontrak kembali walaupun sudah berbeda tahun anggaran. Selain itu, tanggal kontrak dan tanggal pelaksanaan kontrak yang sudah berlalu di tahun anggaran sebelumnya mengakibatkan tidak dapat direkamkannya kontrak tunggakan tersebut di SPAN. Hal tersebut berlaku sama pada SAS di masa dulu maupun SAKTI di masa kini untuk sisi satuan kerja.Â
Dengan kendala tersebut, maka dalam praktiknya di lapangan pembayaran tunggakan atas pekerjaan kontraktual tahun anggaran yang lalu diajukan ke KPPN dengan SPM LS Non Kontraktual di tahun anggaran berjalan, terlepas berapa pun nilai tunggakan tersebut. Timbul kembali pertanyaan yang sama dengan pembahasan sebelumnya, apakah pendaftaran kontrak ke KPPN sesuai dengan PER-58 dapat dikesampingkan untuk pembayaran pekerjaan tunggakan?
Pada kasus lain, yang mana kasus ini masih jarang terjadi di KPPN, yakni untuk proyek KPBU. Kontrak Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP) adalah kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur dan/atau layanannya untuk kepentingan umum mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.Â
Sampai dengan saat ini, PMK yang mengatur tentang KPBU yakni PMK 206 tahun 2016 belum memiliki aturan turunan yang mengatur khusus terkait mekanisme pembayaran ke KPPN. Dengan adanya kekosongan peraturan, dan sifat kontrak KPBU yang jangka waktunya belasan bahkan puluhan tahun, serta penandatanganan kontrak dengan proses pembayarannya dilakukan dengan jarak waktu yang cukup jauh, maka diskresi yang diambil dalam praktik di lapangan selama ini adalah pengajuan SPM ke KPPN dilakukan dengan mekanisme SPM LS Non Kontraktual.
Sebenarnya masih ada beberapa contoh kasus lagi, seperti pembayaran untuk iuran kontribusi organisasi internasional yang didasarkan pada keanggotaan negara kita pada organisasi internasional yang selama ini dibayarkan dengan mekanisme LS Non Kontraktual, lalu pelaksanaan pengadaan pada satuan kerja perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang dibayarkan dengan mekanisme UP walau berapapun nilainya.
Tidak semua perikatan/kontrak perlu didaftarkan ke KPPN.
Kita dapat memahami bahwa memang pendaftaran perikatan/kontrak oleh satuan kerja ke KPPN memiliki peran yang penting, guna mengamankan pagu perikatan dan menjamin bahwa negara akan membayar sejumlah dana ke rekanan/penyedia yang sudah memberikan prestasi pekerjaannya sesuai perikatannya dengan PPK. Selain itu, pendaftaran kontrak secara akrual juga membantu menyajikan data akrual terkait kewajiban negara yang harus dipenuhi sehubungan dengan perikatan yang sudah dibuat oleh PPK dengan pihak penyedia/rekanan.
Namun demikian, dari beberapa contoh kasus di atas kita dapat memahami bahwa variasi perikatan sebagai dasar pembayaran atas beban APBN ternyata begitu beragam di lapangan, dan ternyata pembahasan kontraktual dan non kontraktual menjadi kurang relevan lagi dengan tujuan utamanya, yakni membayarkan sejumlah dana ke pihak penerima hak pembayaran sesuai dengan prestasi yang sudah diserahterimakan secara tepat waktu.Â
Dengan adanya kasus-kasus di mana suatu perikatan tidak perlu dibayarkan dengan mekanisme LS Kontraktual dikarenakan berbagai alasan yang ada, maka ada ruang bagi kita untuk menyempurnakan pengaturan pembayaran oleh satuan kerja yang SPM nya diajukan ke KPPN. Kewajiban pendaftaran kontrak ke KPPN oleh satuan kerja hendaknya dibatasi pada perikatan/kontra dengan jangka waktu yang lama, yang mana dengan lamanya jangka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut maka satuan kerja perlu mengamankan pagu yang digunakan untuk membayarkan perikatan/kontrak supaya tidak berkurang karena terbebani tagihan pembayaran lain maupun terkena revisi pagu baik sengaja maupun tidak sengaja.
Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa beberapa perikatan/kontrak memang dapat dibayarkan dengan mekanisme SPM LS Non Kontraktual, yakni tanpa perlu adanya pendaftaran kontrak ke KPPN. Contohnya adalah perikatan dengan masa pelaksanaan pekerjaan yang tidak terlalu lama, dikarenakan semakin lama masa penyelesaian pekerjaan, maka semakin meningkat urgensi untuk mengamankan pagu.Â
Contoh dari perikatan yang pelaksanaannya tidak terlalu lama adalah pengadaan barang/jasa lainnya yang dilakukan melalui e-katalog. Memang tidak semua barang/jasa lainnya yang disediakan di e-katalog memiliki jangka waktu pelaksanaan yang tidak terlalu lama, oleh karenanya perlu ditentukan batas waktu (dalam hari) untuk memenuhi kriteria "tidak terlalu lama" tersebut. Dengan demikian, PER-58 yang dirilis pada tahun 2013 juga rasanya perlu dimutakhirkan kembali dan didefinisikan kembali terkait hal yang perlu atau tidak perlu didaftarkan kontraknya ke KPPN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H