Kisah Perjuangan di Negeri Panzer
- Judul: Rentang Kisah
Penulis: Gita Savitri Devi
Editor: Ry Azzura
Penerbit: Gagas Meddia
Kota Terbit: Jakarta Selatan
Tahun Terbit: 2017
Cetakan ke: 4
Jumlah Halaman: viii + 208 halaman
ISBN : 978-979-780-903-4
Gita Savitri Devi adalah seorang lulusan Kimia Murni di Freie Universitat Berlin. Pada 2010 Gita pindah ke Jerman untuk menempuh pendidikan S1. Selain menghabiskan waktunya di laboratorium saat masih kuliah, Gita juga menulis blog dan membuat video blog (vlog) yang diunggah ke Youtube. Buku Rentang Kisah adalah buku pertamanya, buku ini menceritakan perjalanan hidupnya dari mulai SMA hingga berbagai pelajaran berharga di kehidupan Gita baik di Jakarta maupun di Jerman.
Kisahnya berawal dari ketidakharmonisan hubungan Gita dengan ibunya. Semua perintah dari ibunya harus selalu dituruti. Jika tidak, ibunya bisa marah. Kemarahan itu yang membuat Gita takut sekaligus membenci ibunya. Sampai-sampai saat sakit, dia tidak berani memberitahu ibunya.
Tetapi, setelah lama menderita sakit dia memutuskan untuk memberitahu ibunya. Dia tetap terus berusaha untuk tidak menyerah dengan keadaan (halaman 12). Namun, setelah sembuh dari sakitnya dia sadar bahwa penyebab hubungan ketidakharmonisan adalah dia menganggap ibunya sebagai musuh bukan orang tua (halaman 16). Dia menyadari bahwa seluruh waktu, energi, dan pikiran ibunya diberikan hanya untuknya dan adiknya (halaman 18).
Kemudian diceritakan dalam buku ini saat Gita SMA. Dia belum memikirkan mau kuliah apa dan dimana. Dia merasa bingung dalam memilih jurusan karena dia bukan tipe orang yang rajin belajar. Bahkan, dia merasa bahwa dirinya tidak tahu bagaimana cara belajar yang baik dan benar.
Pada tahun terakhir dia bertekad untuk punya tujuan dan cita-cita. Kemudian dia mulai memikirkan passion-nya dan mencari tahu bakatnya. Setelah itu, Gita memutuskan untuk mengambil jurusan desain grafis di ITB karena hobinya menggambar. Dia berusaha belajar dengan giat soal - soal latihan masuk perguruan tinggi. Atas hasil usahanya itu, dia berhasil mendapatkan kampus impiannya.
Suatu hari ibu Gita justru menawarkan kuliah di Jerman. Ini merupakan pilihan yang sulit baginya. Antara ITB sudah di depan mata dan dia juga tertarik kuliah di Jerman. Dia merasa bahwa pencapaiannya tidak terlalu dihargai. Sebenarnya dia yakin dengan pilihannya sendiri dan tidak terlalu mendengarkan pilihan ibunya. "Namun, aku juga percaya kalau ridho Allah adalah ridho orangtua. Bagaimana jalan menuju masa depanku mau lancar, kalau orang tua nggak mengizinkan."
Pada akhirnya, ia memilih untuk kuliah di Jerman dan tidak mengambil kesempatan kuliah di ITB karena mengingat ayah dan ibunnya pernah tinggal di Jerman. Walaupun sudah memantapkan pilihan di Jerman, nasib berkata lain. Ibunya mendapat informasi bahwa persyaratan mahasiswa minimal berusia 18 tahun. Saat itu usianya baru 17 tahun. Sebenarnya Jerman bisa menerima mahasiswa yang usianya dibawah 18 tahun dengan melampirkan surat izin dan tanda tangan dari orang tua agar bisa mengurus segala birokrasi di Jerman.
Mendengar hal itu dia langsung patah semangat dan kecewa. Kemudian ia sadar bahwa rasa kecewa dan marah itu tidak ada gunanya. "Untuk kali pertama aku belajar caranya ikhlas dan berprasangka baik atas jalan yang Allah kasih. Mungkin ini cara Dia untuk mendewasakan aku."
Setelah lama menunggu satu tahun Gita berangkat ke Jerman. Calon mahasiswa di Jerman harus menempuh Studienkolleg sebagai syarat menempuh perkuliahan yang sebenarnya, beserta tes tertulisnya selama dua semester. Materi pelajaran di Studienkolleg antara lain pelajaran SMA. Bedanya, jika di Jerman dituntut untuk tahu bagaiman rumus bisa tercipta.
"Ternyata prinsip orang Jerman agak berbeda dengan orang Indonesia; kalau 5 rumus bisa diturunkan dari satu persamaan, kenapa harus dihafal semua."
Hal tersebut membuat Gita kesulitan memahami rumus. Dia masih tetap berjuang karena jika tes Studienkolleg tidak lulus, dia tidak diterima masuk perkuliahan di sana dan akan dipulangkan ke Indonesia. Berbagai cara dilakukannya untuk dapat lulus tes tersebut.
Kesulitan lain yang dihadap Gita adalah penguasaan Bahasa Jerman. Walaupun dia sudah mengenal Bahasa Jerman dengan mengikuti kursus sejak kelas 11 SMA, hal ini kurang bisa membantu Gita ketika belajar yang sebenarnya di Jerman. Dia tetap masih berjuang dengan giat berlatih supaya menguasai Bahasa Jerman, dimana saat itu dia juga menempuh program Studienkolleg.
Bahasa Jerman menjadi menjadi syarat mahasiswa baru karena bahasa pengantar kuliah di Jerman adalah bahasa Jerman itu sendiri. Akhirnya, Gita dapat melewati tes dengan nilai sangat baik. Dia berhasil masuk universitas paling bergengsi di Jerman yaitu Freie Universitt Berlin jurusan Kimia Murni.
Perjuangan Gita masih berlanjut. Hubungan asmaranya kandas karena Long Distance Relationship. Dia merasa dikhianati dan kecewa. Namun, hidup masih berlanjut, dia dipertemukan dengan Paulus yaitu mahasiswa Indonesia juga yang baru selesai menempuh program Studienkolleg. Dia merasa hubungannya dengan Paul lama-kelamaan bukan hanya sebatas teman tetapi ada rasa saling suka. Dia bimbang karena dia dan Paul beda agama.
Dia tidak mau memaksa orang untuk pindah agama. Dia sadar bahwa hidayah itu datangnya bukan dari manusia melainkan dari Allah. Suatu hari Paul ditimpa musibah, dia tidak tahu harus berdoa kepada siapa dan pada akhirnya dia memutuskan untuk pindah agama menjadi Islam. Tinggal di Jerman membuat Gita makin mendalami Islam. Dia memutuskan untuk berhijab.
Kisahnya perjuangannya sebagai mahasiswa jurusan Kimia Murni di Freie Universitt Berlin terus berlanjut hingga tujuh tahun lamanya. Banyak pengalaman serta pelajaran yang Gita dapatkan selama tujuh tahun di Jerman. Untuk pertama kalinya dia menulis buku yaitu buku ini, pengalaman dan perjalanan hidupnya dituliskan dalam buku ini. Semua pengalamannya itu mengubah dia menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa memahami artinya hidup.
Buku ini memiliki keunggulan dari segi alurnya yang mudah dipahami sehingga pembaca merasa nyaman membacanya sampai tidak terasa sudah sampai di bab akhir. Selain itu, buku ini juga menginspirasi pembaca karena banyak motivasi yang bisa diambil untuk diterapkan di kehidupan.
Kelemahan buku ini dilihat dari segi pilihan kata yang banyak menggunakan bahasa Inggris tanpa disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, buku ini terlalu singkat untuk menceritakan sebuah autobiografi.
Buku ini cocok dibaca untuk semua orang, karena membaca buku ini pembaca akan mengerti bagaimana seharusnya menghadapi kehidupan yaitu semua yang diinginkan tidak dapat terwujud tanpa berusaha dengan keras. Buku ini juga mengajarkan pembaca untuk belajar ikhlas dan bersyukur dalam menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H