Mohon tunggu...
Melysa Septiana
Melysa Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sosial Media sebagai Edukasi Anti Korupsi

23 November 2021   15:18 Diperbarui: 28 November 2021   15:06 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai korupsi yang menjadi permasalahan yang laten dan rumit bagi bangsa Indonesia, terutama pada kalangan pejabat dan pemerintah, korupsi seakan menjadi permasalahan yang sepele. Dewasa ini, banyak pejabat dan pemerintah yang melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan uang negara. Faktor pendorong korupsi ada dua, yakni internal dan eksternal. 

Faktor internal terdiri dari aspek perilaku  individu, yaitu:  tidak puas akan apa yang dicapai, sifat tamak/rakus, dan semua merasa kurang dapat mendorong tindakan korupsi. 

Moral yang kurang kuat, orang yang moralnya lemah akan mudah tergoda untuk melakukan tindakan korupsi. Orang yang pendapatannya relatif kurang dan bergaya hidup konsumtif tentu akan lebih terdorong untuk melakukan tindakan korupsi. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi yaitu: faktor ekonomi, atau bahkan karena kurangnya gaji bagi pegawai suatu perusahaan yang mendorong pegawainya untuk melakukan korupsi di perusahaan itu sendiri. 

Faktor politik, pada dasarnya politik sendiri berhubungan secara langsung dengan kekuasaan. Faktor organisasi, pimpinan yang kurang memiliki sikap teladan kepada bawahan dapat berpengaruh timbulnya tindakan korupsi. Faktor hukum, semakin lemahnya hukum dan semakin buruknya perundang-undangan sangat berpengaruh atas dilakukannya tindakan korupsi.

Menurut Badan Kepegawaian Negara 2019 "Tindakan korupsi secara khusus memiliki dampak negatif terhadap pegawai Aparatur Sipil Negara dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, ketahanan dan keamanan, agama, serta ekonomi. Secara spesifik, bahaya tindakan korupsi yakni: terhadap bidang ekonomi, korupsi dapat mengganggu perkembangan ekonomi suatu negara. Terhadap bidang politik, kekuasaan yang didapatkan dari alur korupsi akan menghasilkan pemerintahan yang tidak baik atau kotor. Terhadap bidang ketahanan, keamanan, dan keadilan sosial, korupsi termasuk gratifikasi membuat bidang-bidang tersebut tidak efisien. Dikarenakan tindak korupsi berorientasi pada keuntungan golongan tertentu menjadikan ketahanan dan keamanan negara tidak diperhatikan. Terhadap budaya dan kehidupan sosial, korupsi dapat mengubah kualitas moral dan intelektual masyarakat"

Berdasarkan data yang dimuat TEMPO.CO pada 14 September 2021 disebutkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 2021. Jumlah penindakan kasus korupsi selama enam bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus. Jumlah itu naik dibanding periode yang sama ditahun sebelumnya sebesar 169 kasus. Korupsi di Indonesia kerap kali terjadi dan berdampak buruk bagi kelangsungan negara, begitu banyaknya hingga pernah merambat kasus korupsi terbesar dengan kerugian negara terbesar. Pertama, kasus Pelindo II yakni kasus korupsi proyek pengadaan tiga Quay Container Crane (QCC) yang menyeret nama Dirut PT Pelindo RJ Lino, yang resmi ditahan KPK pada Jumat (26/3/2021) setelah berhasil mengantongi audit kerugian negara dalam kasus tersebut. Kedua, kasus Bank Century hingga negara mengalami kerugian sebesar Rp 7 triliun atas jas bank Century. Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke Bank Century telah menyebabkan kerugian  Rp. 689,394 miliar.  Kasus ini turut menyeret beberapa nama besar, namun, baru Budi Muya yang sudah divonis 15 tahun penjara.

Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masalah korupsi bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan dan moral. Karena banyak pelaku tindak korupsi justru terkadang orang kaya bukan orang miskin. Begitu juga kalau dilihat dari sisi agama, ada pelaku korupsi yang merupakan tokoh agama. Oleh karena itu, masalah korupsi adalah masalah yang kompleks dan pengaruhi oleh banyak faktor. Di era globalisasi ini, korupsi telah membudaya dalam kehidupan masyarakat dan bahkan meningkat pada setiap tahunnya. Seharusnya pemerintah berupaya untuk melakukan pemberantasan yang menyeluruh hingga lingkup masyarakat kecil. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan supaya Indonesia tidak mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek karena dampak buruk dari tindakan korupsi hingga mengancam eksistensi negara. Upaya yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah  adalah pencegahan dengan penerapan edukasi antikorupsi di sosial media. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dasar negara Indonesia (Pancasila), supaya implementasinya tidak menyimpang dari pedoman bangsa Indonesia.  Penerapannya dapat dilakukan dengan menanamkan semangat nasional, menghimbau masyarakat melalui sosialisasi pemberantasan antikorupsi, informasi penerimaan aparatur negara disebarluaskan dengan transparan dan pengusahaan kesejahteraan masyarakat dengan cara memberikan fasilitas umum yang memadai. Di samping itu, upaya edukasi sangat disarankan dalam kasus ini, terutama pada anak milenial. Mengingat perkembangan zaman yang telah berubah dari tradisional ke modern, dari konvensional menjadi mesin dan banyaknya teknologi yang telah menguasai dunia seperti internet dan sebagainya.  Seperti yang kita ketahui media sosial bahkan telah menjadi bagian penting dari kehidupan kita. Dengan adanya perkembangan internet ini dapat dimanfaatkan untuk edukasi antikorupsi bagi berbagai kalangan umum yang masih belum mengenal tentang pendidikan antikorupsi. Media sosial digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mulai dari golongan bawah hingga para pejabat negara atau konglomerat. Dengan demikian seluruh postingan tentang antikorupsi dengan cepat viral dan tersebar luas dimasyarakat. Dapat dikatakan bahwa sosial media merupakan platform yang sangat efektif untuk penyebarluasan suatu informasi dibanding media elektronik lainnya. Pendidikan antikorupsi dapat disebarkan menggunakan sosial media dengan cara mengunggah postingan yang telah dirancang dengan sedemikian sehingga menarik untuk berbagai kalangan masyarakat sehingga mereka berminat untuk membaca atau memahami postingan tersebut. Sementara itu, bentuk pendidikan antikorupsi pada sosial media dapat berupa penyajian deskripsi materi, ilustrasi gambar, poster, atau bahkan penyajian video. Hal ini merupakan dampak positif dari adanya internet berupa blog, website, facebook, telegram, tiktok,  instagram, twitter, dan sebagainya membuat kemudahan dalam mendapatkan pengetahuan baru. Kelebihan penyajian edukasi di media sosial biayanya lebih terjangkau, dapat diakses dengan mudah, waktu belajar lebih fleksibel, wawasan yang didapat lebih luas, lebih bersifat personal, materi pembelajaran dapat disimpan, bisa lebih menyenangkan, bisa lebih mengembangkan diri, ramah lingkungan, dan membuat anak melek teknologi. Di samping kelebihan pasti akan adanya kekurangan dalam edukasi online. Salah satunya terjadinya kesalahpahaman antar individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun