Exhuma, sebuah film horor supernatural Korea yang dirilis pada Februari 2024, berpusat pada tragedi akibat pasak besi yang ditanam oleh Jepang pada masa penjajahannya di Korea. Dalam film tersebut, sebilah pedang dimasukkan ke dalam tubuh seorang samurai raksasa yang dikubur di sebuah bukit dengan tujuan untuk mengganggu kestabilan energi Feng-shui yang saat itu banyak dianut masyarakat Korea. Teror berawal ketika sekelompok shaman yang dipimpin oleh Lee Hwarim dan Kim Sangdeok menggali kubur tersebut dan tidak sengaja membuka segel petinya. Korban berjatuhan atas serangan si samurai dengan kuku tajam yang gemar “mencuri hati” manusia.
Film Exhuma sukses besar dan menggiring rasa penasaran penonton akan kebenaran mengenai fakta sejarah yang disinggung di dalamnya. Muncul pertanyaan dari penonton mengenai kebenaran akan pasak besi yang ditanam oleh Jepang di tanah Korea. Beberapa menganggap bahwa itu hanya fiksi semata yang sengaja dibuat untuk menambah daya jual film. Namun, tindakan Jepang tersebut merupakan fakta yang buktinya tersebar di tanah Korea.
Pada masa penjajahan Jepang, masyarakat Korea sangat terlarut dalam kepercayaan Fengsui atau pungsu dalam bahasa Korea. Pungsu merupakan kepercayaan yang berfokus pada upaya membangun harmoni antara manusia dengan alam atau energi qi. Masyarakat Korea menganggap bumi dan langit sebagai penyedia pangan, kemakmuran, serta kelahiran karena lahan dianggap sebagai ibu dan langit sebagai bapak. Hal ini diperjelas dengan adanya lima elemen kehidupan yaitu bumi atau to, kayu atau mok, logam atau gum, api atau hwa, serta air atau su. Setiap elemen memiliki energi positif sendiri atau qi ketika keadaannya tidak terganggu oleh elemen lainnya.
Kestabilan pungsu inilah yang berusaha diganggu oleh Jepang. Dalam praktek penjajahannya, Jepang menganggap Korea milik mereka, baik lahan maupun orangnya. Hal ini membuat orang Korea harus mengasimilasikan dirinya ke dalam budaya Jepang dan memuaskan Jepang tanpa menerima manfaatnya, tetapi lebih banyak menerima tindasan serta diskriminasi. Salah satu bentuk dari penindasan tersebut adalah dengan mengganggu kepercayaan masyarakat Korea yaitu pungsu. Penanaman pasak besi ke pegunungan yang dilakukan untuk melemahkan energi qi karena elemen logam dapat melemahkan elemen tanah. Hal inilah yang saya dan penonton lainnya lihat di film “Exhuma”. Seperti di film, benda tersebut tidak mudah ditemukan karena sifatnya rahasia dan hanya tersebar dari mulut ke mulut.
Tahun 1985, beberapa organisasi pendaki gunung menemukan pasak besi di Gunung Bukhan. Penemuan ini menjadi dorongan bagi masyarakat Korea untuk mencari lebih lanjut. Di sinilah saya menemukan dua sosok yang berperan penting dalam pencarian pasak besi, yaitu Koo Yunseo dan So Yunha. Koo memimpin sebuah organisasi bernama 우리를 생각하는 모임 (Group That Thinks About Us) yang bertujuan untuk mencari dan mencabut pasak-pasak besi tersebut dari tanah Korea. Beberapa saat setelah penemuan pertama di Bukhan, mereka menemukan pasak besi di Gunung Samgak. Sejak saat itu, So Yunha tertarik ikut dalam komunitas pimpinan Ko. Selanjutnya, Group That Thinks About Us menemukan 33 pasak besi di Puncak Oknyebong, Gunung Jiri dengan diameter 11 cm, panjang 1 meter dan berat 80 kg.
So melanjutkan jejaknya setelah Koo meninggal di tahun 1997 karena kanker paru-paru. Awalnya, So mencari sendirian berdasarkan laporan-laporan warga. Semangat So mengguggah masyarakat Korea sehingga orang-orang mulai berdatangan untuk membantu pencariannya. Banyaknya dukungan membuat So mendirikan National Spirituality Promotion Comittee. Kurang lebih sebanyak 109 buah pasak besi telah ditemukan oleh So dan timnya yang memakan biaya hingga sebesar 50 juta won. Besarnya pengeluaran disebabkan karena biaya transportasi yang mahal untuk serta peralatan menggali yang harganya cukup fantastis. Penemuan yang paling terkenal adalah 18 buah pasak besi di bawah Istana Changdeok dan 28 buah lainnya di Baekdo, Provinsi Jeolla. Kedua penemuan tersebut berhasil dilakukan atas pengakuan Jenderal Tomoyuki Yamashita yang merasa bersalah atas tindakan Jepang dalam usaha mereka melakukan invasi pungsu di tanah Korea. Namun, pengakuan tersebut juga tidak sepenuhnya akurat sehingga komite yang dipimpin So mengalami kesulitan dalam pencariannya.
Kurangnya dukungan pemerintah serta minimnya informasi menyebabkan pencarian So banyak mengalami hambatan. Penemuan So dan komitenya juga berdasar pada laporan warga yang kebanyakan mengacu pada sebuah folklore tanpa bukti sehingga menyebabkan biaya pencarian terbuang sia-sia tanpa penemuan yang berarti. Selain itu, hampir semua anggota National Spirituality Promotion Comittee berusia di atas 50 tahun sehingga pencarian ke tempat yang berbahaya seperti lereng gunung mustahil dilakukan karena alasan keselamatan. Namun, So percaya bahwa sekitar 95% pasak besi yang pernah ditanam di Korea Selatan sudah dicabut berkat usaha Ko, dirinya, serta anggota komunitas lainnya.