[caption caption="Bambang Soesatyo. Sumber gambar: viva.co.id"][/caption]
Banyak orang bertanya-tanya ketika Bambang Soesatyo (Bamsoet) ternyata malah memutuskan untuk menjadi tim sukses Ade Komarudin (Akom) dalam bursa pemilihan ketua umum Golkar pada April nanti. Kenapa pada Munas yang akan mempersatukan Golkar kali ini Bamsoet malah memilih jadi figuran daripada sebagai aktor? Padahal Bamsoet sebenarnya adalah sosok yang cukup kuat dan sepantasnya maju sebagai calon Ketum.
Bamsoet adalah salah satu petinggi Golkar yang sangat vokal dan aktual menanggapi dinamika yang terjadi di ranah perpolitikan nasional. Analisanya tajam dan sikapnya tegas hitam-putih terhadap masalah yang ada, tidak abu-abu seperti kebanyakan politisi lain.
Latar belakang ia terjun berpolitik pun kuat. Ia wartawan senior yang meniti karir dari dasar hingga ke posisi pemimpin redaksi. Ia telah terbiasa menganalisa dan mempelajari berbagai polemik politik tanah air. Ketajaman sudut pandang dan keberimbangan data dari argumen-argumennya pun terasah dari sana.
Kemunculannya di hadapan publik pun tampak sangat berkarakter, berani dan lantang dalam menyikapi isu. Dalam menghadapi kasus Century dan mafia perpajakan contohnya. Ia tegas, ngotot, dan menghadapi resiko.
Sepak terjangnya yang menggebu-gebu tersebut membuat Bamsoet telah lama mendapat banyak perhatian dalam internal partai. Ia pun pernah dipercaya menempati posisi-posisi strategis. Julukan “orang kuat” pantas disandangkan padanya setelah ia menjadi Bendahara Umum Golkar, terlebih setelah perombakan susunan fraksi paska Setya Novanto (Setnov) jadi ketua.
Setnov yang diketahui memang sedang perang dingin dengan Bamsoet tetap tidak mampu “menyentuhnya”. Perombakan ala Setnov hanya sampai pada pergantian posisi Bamsoet dari Sekretaris Fraksi Golkar berpindah jadi Ketua Komisi III. Ini membuktikan bargaining power Bamsoet yang sangat tinggi.
Figur kepemimpinan yang diperlihatkannya selama ini semestinya membuat simpati banyak kader pantas dialamatkan padanya. Di hadapan publik pun ia terus aktif membela Golkar. Sangat banyak pandangan-pandangannya yang dapat memediasi Golkar dengan publik luas. Loyalitasnya terhadap partai tak perlu diragukan lagi.
Wajar timbul pertanyaan atas sikapnya dalam bursa pada Munaslub kali ini. Misalnya, apakah keputusan Bamsoet ini adalah salah satu langkah taktis untuk berlindung dari berbagai kemungkinan serangan politik jika ia maju sekarang? Sebab Bamsoet memang pernah dikaitkan dengan sejumlah isu penting perkorupsian tanah air?
Misalnya isu kasus simulator SIM yang menyeret Irjen Djoko Susilo. Nazaruddin mantan Bendum Demokrat sekaligus mantan rekan Bamsoet sesama Komisi III dahulu pernah mengoarkan bahwa Bamsoet dan Aziz Syamsudin merupakan pemain dalam kasus tersebut. Meski telah ditepis, namun potensi informasi yang disebut Nazaruddin tersebut masih sangat mungkin untuk didalami. Itu bisa tergantung waktu, atau proporsi politik yang berkembang.
Jikalau memang demikian, maka pilihannya terasa cukup masuk akal. Memilih sebagai tim sukses mungkin tidak akan terlalu menarik perhatian ketimbang langsung maju sebagai calon Ketum, sehingga berbagai pihak merasa tidak ada kepentingan langsung untuk berlawanan head to head dengannya.
Paling tidak, kemungkinan-kemungkinan kasus yang melibatkannya belum akan dipersoalkan dalam waktu dekat. Pada kesempatan tersebut ia memiliki cukup waktu untuk terus memupuk kekuatan hingga tameng politiknya betul-betul kokoh ditempa.
Kemungkinan kedua, ia “main menang”. Bermain aman namun tetap dapat memiliki kekuatan dan bekingan secara politis jika Akom lolos menjadi Ketum Golkar. Akom Ketum, otomatis ada sharing kekuasaan untuk Bamsoet nantinya. Secara de facto, boleh jadi ia memiliki jangkauan kekuasaan terbesar kedua dalam kepengurusan Golkar formasi Akom, meskipun jika hal tersebut di luar hirarki struktur resmi nantinya.
Bahkan sangat mungkin pula, Setnov didepak dari posisi ketua fraksi, lalu diisi oleh Bamsoet. Setnov kemudian bisa saja dijatuhkan pada titik yang selemah-lemahnya di DPR dan Golkar, dan secara politik hal ke arah situ bisa saja diperlukan. Hal ini mengingat perang dingin yang telah terjadi belum kelihatan ujungnya.
Jika telah sampai pada kondisi ini, bisa dikatakan Bamsoet membangun bargaining position tanpa resiko. Ia hanya perlu terus merawat dan mengembangkan simpati yang telah ada saat ini. Ia pun lantas membuat banyak orang menunggu-nunggu kapan kira-kira Bamsoet akan maju sebagai petarung “sebenarnya”.
Dan kalau memang “main aman” merupakan alasan utama Bamsoet tidak maju, maka sungguh sangat disayangkan sikapnya sebagai salah satu kader paling penting bin potensial yang dimiliki Golkar hari ini. Ketika Akom naik nantinya, betapa pun magisnya bisikan Bamsoet, Akom tetaplah Akom. Bamsoet hanyalah seorang pembisik, bukan jendral yang mengendalikan arah pertempuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H