"Woi assalamua'laikum Mel, kemana aje ente ?" Udah tobat belum, dunia udah mau kiamat lho ?"
Teringat aku sapaan teman aku beberapa waktu lalu yang memang sudah sangat lama kita tidak  bertemu.  Sudah banyak perubahan memang yang terjadi terhadap teman-teman aku semasa kuliah dulu. Dulunya mereka sama seperti saya, sekarang mereka bukan seperti saya. Busananya berbeda, berjenggot,  jidatnya belang, bahkan kebanyakan dari mereka sudah punya lebih dari satu istri dan kesemuanya bercadar.  Masya Allah ! mereka semua sudah di jalan surga (kah) ? Atau aku nya yang jalan di tempat ! Tapi sudahlah, bukan gossip murahan itu yang akan ku tulis di sini.
Pertama tama aku mau mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abu Thalib ;
Keadilan juga mempunyai empat aspek: pemahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh.
Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami, akan mendapatkan kedalaman pengetahuan;
Barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan
Barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia. (Ali bin Abu Thalib)
Bermula dari kutipan di atas, saya mencoba untuk mengaitkannya dengan kondisi sekarang ini. Pertanyannya: Sudahkah kita memiliki pemahaman yang tajam tentang agama ? Sehingga serta merta kita merasa bahwa keyakinan kita lah yang paling benar. Style kitalah yang sudah sesuai dengan keyakinan yang benar itu, atau kita hanya ibarat seekor bebek yang berjalan mengikuti sekelompok bebek yang lain beriringan padahal bebek itu sedang di gembala oleh seseorang yang bahkan nggak ngerti tentang bebek. (kita ? elu aja kale!!).
Apa yang salah sebenarnya ? Ajarannya kah atau si Pengajarnya ? Menurut saya sich yang salah si pengajarnya. Mungkin para pengajar (baca: ustad/zah) itu belum memahami sepenuhnya tentang apa yang di ajarkan, walaupun faham mungkin hanya kulit arinya saja. Mana mungkin ajaran yang begitu dalam hanya di fahami kulit arinya saja dengan gamblangnya di obral ke sana-sini secara murah. Bukankah itu artinya telah "mencabuli ajaran itu sendiri" Btw itulah faktanya.
Pertanyaan berikutnya: Dari mana ajaran itu di peroleh si pengajar ? Dari gurunya lah bego, emang dari gorila  Lantas gurunya dari siapa ? Yach dari guru, gurunya lagi oon. Terus guru, gurunya lagi dari siapa ? yach dari moyang gurunya lagi, dongok. Terus..terus..terus.. sampai akhirnya kita menemukan bahwa esensi dari semua pengetahuan itu adalah kitab suci itu sendiri.Â
Pertanyaannya: Sudahkah mereka faham secara tajam tentang isi kitab suci ? Menurut saya sich Nol Besar semua.Â
Jika mereka memang faham secara tajam isi kitab suci itu, mengapa hanya kulit luarnya saja yang tampak dalam aplikasinya.Â
- Mereka hanya sibuk memperbaiki yang tampak tetapi membiarkan membusuk sesuatu yang tak tampak.Â
- Mereka memanjangkan sesuatu yang berada di luar kepala, tetapi memendekkan sesuatu yang berada di dalam kepala mereka.
- Memendekkan penutup kaki mereka, tetapi lupa untuk memanjangkan esensi dari fungsi kaki itu sendiri.
- Mereka menyatu dengan golongan yang sedikit dan mengabaikan orang yang banyak.
- Mereka memaksakan sesuatu yang kecil tak berdampak apa-apa tetapi menafikan sesuatu yang besar yang secara langsung bersinggungan dengan orang banyak bahkan dengan mereka sendiri. Â
- Ajaran yang disampaikan hanya untuk kepentingan duniawi; ,kekayaan, jati diri, bisnis online, kekuasaan, popularitas, bahkan rela melacurkan agama sekadar untuk mendapatkan jodoh lagi. (Ckckckc..belajar agama koq gitu )!
Pengetahuan yang dalam tentu akan bisa diperoleh lewat pemahaman yang tajam. Itu semua tentu sangat erat berhubungan dengan otak yang tajam pula. Karena dengan otak yang tajam, maka pemahaman pun akan tajam, karena dia tajam maka akan terus menggali lebih dalam dan pada akhirnya pengetahuan pun akan menjadi lebih dalam. Pengetahuan yang dalam akan menelurkan kebijaksanan. Faktanya sekarang : lagi-lagi Nol besar.
Lantas apalagi yang salah ? Jangan-jangan yang merasa pintar dan ber "open mic" dari mimbar ke mimbar itu tidak memiliki otak yang tajam. Sehingga sewaktu belajar di luar sana karena bea siswa pemerintah itu, tidak bisa menggali lebih dalam tentang pengetahuan yang di dalaminya. (tumpul sich paculnya !!!).
Akibatnya daya serap mereka hanya sedikit, maka nya yang keluar juga hanya kulit ari saja. Sebab jika otak tajam, pemahaman akan tajam, pengetahuan pun semakin dalam. Pengetahuan yang dalam menghasilkan kebijaksaan, kebijaksaan menelurkan keadilan dan keadilan terwujud atas kesabaran. Kesabaran akan menumbuhkan keteguhan hati dalam berbuat baik. Sehingga akhirnya kan tergambar dengan tingkah laku yang terpuji di tengah-tengah masyarakat yang plural ini. Â Dan sudah pasti mereka yang seperti ini bisa di terima di semua golongan masyarakat. Muaranya agama rahmat bagi semua umat tentu akan terwujud. Kira-kira begitulah menurut saya esensi dari kutipan di atas. Â
Jadi kesimpulannya, Jika semuanya itu telah terwujud, maka ;
- Tidak akan ada lagi pengkhotbah kw kw an
- sehingga musnah sudah penyembah para pengkhotbah;
- Tidak akan ada lagi pebisnis agama, karena memang semua yang berbau agama telah didewa-dewakan sebatas kerongkongannya saja
- Tiada lagi yang saling salah menyalahkan, sesat menyesatkan, karena sejatinya kebenaran itu hanya milik Sang Pembuat Kebenaran.
- Kembalikan nama Tuhan pada tempatnya, jangan mengobralnya di kaki lima.
- Jangan berbuat zhalim kepada makhluknya dengan membawa nama tuhan, karena sesungguhnya faktanya engkau sedang menzhalimi Tuhan.
Sekian dulu my friend, terima kasih sudah mau meluangkan waktu membaca tulisan sederhana ini. Semoga bisa menjadi bahan lamunan bagi kita (kita ? elu aja keles..!, o iya gue aja ! ) semua. O iya, terima kasih juga buat bos admin yang sudah menghapus tulisan aku sebelumnya (hehehe.. Tapi it's ok !).
Akhirnya, di awal saya buka dengan kutipan, maka di akhir saya tutup juga dengan sebuah kutipan :
" Dalam masa kekacauan sosial, jadilah seperti unta remaja yang tak berpunggung cukup kuat untuk ditunggangi dan tidak pula bersusu untuk diperah " Â (Ali bin Abi Thalib).
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H