Mohon tunggu...
Melvin Firman
Melvin Firman Mohon Tunggu... wiraswasta -

" hanya orang biasa yang suka iseng nulis-nulis apa yang teringat, terlihat dan terasakan tanpa basa basi dan apa adanya."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Kulit Ari

9 Maret 2018   19:07 Diperbarui: 9 Maret 2018   19:25 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Woi assalamua'laikum Mel, kemana aje ente ?" Udah tobat belum, dunia udah mau kiamat lho ?"

Teringat aku sapaan teman aku beberapa waktu lalu yang memang sudah sangat lama kita tidak  bertemu.  Sudah banyak perubahan memang yang terjadi terhadap teman-teman aku semasa kuliah dulu. Dulunya mereka sama seperti saya, sekarang mereka bukan seperti saya. Busananya berbeda, berjenggot,  jidatnya belang, bahkan kebanyakan dari mereka sudah punya lebih dari satu istri dan kesemuanya bercadar.  Masya Allah ! mereka semua sudah di jalan surga (kah) ? Atau aku nya yang jalan di tempat ! Tapi sudahlah, bukan gossip murahan itu yang akan ku tulis di sini.

Pertama tama aku mau mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abu Thalib ;

Keadilan juga mempunyai empat aspek: pemahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh.

Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami, akan mendapatkan kedalaman pengetahuan;

Barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan

Barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia. (Ali bin Abu Thalib)

Bermula dari kutipan di atas, saya mencoba untuk mengaitkannya dengan kondisi sekarang ini. Pertanyannya: Sudahkah kita memiliki pemahaman yang tajam tentang agama ? Sehingga serta merta kita merasa bahwa keyakinan kita lah yang paling benar. Style kitalah yang sudah sesuai dengan keyakinan yang benar itu, atau kita hanya ibarat seekor bebek yang berjalan mengikuti sekelompok bebek yang lain beriringan padahal bebek itu sedang di gembala oleh seseorang yang bahkan nggak ngerti tentang bebek. (kita ? elu aja kale!!).

Apa yang salah sebenarnya ? Ajarannya kah atau si Pengajarnya ? Menurut saya sich yang salah si pengajarnya. Mungkin para pengajar (baca: ustad/zah) itu belum memahami sepenuhnya tentang apa yang di ajarkan, walaupun faham mungkin hanya kulit arinya saja. Mana mungkin ajaran yang begitu dalam hanya di fahami kulit arinya saja dengan gamblangnya di obral ke sana-sini secara murah. Bukankah itu artinya telah "mencabuli ajaran itu sendiri" Btw itulah faktanya.

Pertanyaan berikutnya: Dari mana ajaran itu di peroleh si pengajar ? Dari gurunya lah bego, emang dari gorila  Lantas gurunya dari siapa ? Yach dari guru, gurunya lagi oon. Terus guru, gurunya lagi dari siapa ? yach dari moyang gurunya lagi, dongok. Terus..terus..terus.. sampai akhirnya kita menemukan bahwa esensi dari semua pengetahuan itu adalah kitab suci itu sendiri. 

Pertanyaannya: Sudahkah mereka faham secara tajam tentang isi kitab suci ? Menurut saya sich Nol Besar semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun